Hampir tak terpikirkan lagi di benak sebagian besar
kita bahwa di zaman sekarang ini akan ada lagi suatu pertunjukan
mukjizat dari Tuhan secara terang-terangan berjalan di luar hukum alam
yang utama, yaitu munculnya mukjizat demi tegaknya hukum baik-buruk
secara gamblang. Akan tetapi hukum sebab akibat yang menyangkut
baik-buruk harus diyakini tetap berlaku hingga kini, yang mana
seringkali terbuktikan dengan jelas di sekitar kita bahwa keburukan
berdampak keburukan, kebaikan berdampak kebaikan, entah cepat atau
lambat. Kadang terwujudnya hal tersebut seperti semacam keajaiban bagi
sebagian orang meskipun sebagian yang lain mengatakan sebagai kebetulan
semata. (Tulisan ini mencoba memahami hukum baik-buruk sebagai suatu
kepastian, bukan suatu kebetulan)
Lantas, bagaimanakah hukum baik-buruk itu bekerja (sedangkan mukjizat sudah tak lagi ada)?
Hukum baik-buruk sangat berbeda dengan hukum
benar-salah. Hukum sebab akibat yang terjadi pada ranah benar-salah
memungkinkan untuk dipelajari mekanismenya, di mana telah mencetuskan
banyak bidang ilmu sains dan sosial walaupun sifatnya terbatas. Dengan
mengetahui mekanisme sebab akibat yang menyangkut benar-salah itu,
manusia bisa untuk sekedar memperkirakan atau bahkan menghitung hasil
akhir secara akurat dari sesuatu yang dia analisa.
Namun, terkait hukum sebab akibat yang menyangkut
baik buruk, sepertinya terlalu sulit untuk menelusuri mekanismenya. Dan
sebagaimana telah disinggung pada artikel sebelumnya (dan sejauh ini
tidak ada koreksi), hukum baik-buruk tidaklah tegak berdiri sendiri di
alam raya ini, melainkan bersumber langsung dari Yang Maha Hidup, yaitu
Tuhan. Artinya bahwa akibat yang baik maupun yang buruk adalah terjadi
atas perintahNYA, bukan terjadi secara otomatis di level empiris.
Bagaimanakah turunnya perintah Tuhan itu sedangkan
semuanya seolah berjalan secara otomatis mengikuti hukum alam? Menurut
penulis setidaknya masih ada beberapa tempat di dunia yang memungkinkan
bagi turunnya perintah Tuhan, yaitu :
- Pada kesadaran tertinggi manusia, sebagaimana perintah-perintahNYA tertuang secara verbal dalam Kitab Suci.
- Pada kesadaran umum manusia, berupa pembelokan atau pembatalan atau pemunculan niat/ kehendak diri dalam membaca keadaan.
- Pada alam bawah sadar manusia, termasuk juga pada alam mimpi.
- Pada kesadaran hewani, yang terjadi pada segala spesies.
- Pada alam setelah kesadaran di dunia (kematian).
Kesemua wilayah di atas menurut penulis adalah
wilayah “halus” yang ada di luar ranah empiris, di mana energi Ilahiah
dapat diterima secara sukarela maupun terpaksa dalam pengambilan
keputusan-keputusan tindakan.
Sebuah ilustrasi untuk uraian di atas adalah sbb:
Seorang anak kecil yang diselamatkan Tuhan dari
kecelakaan mobil, tidaklah dengan cara memberinya ilmu kebal kepada si
anak itu, akan tetapi Tuhan akan memerintahkan kepada otak pengemudi
mobil untuk segera mengambil keputusan bergerak cepat menghindari si
anak.
—
Namun, Apakah Kebaikan itu?
Kebaikan yang paling pertama dan utama bagi manusia
adalah menyadari keberadaan dirinya sebagai obyek yang ter-ada-kan di
muka bumi, diri dan tubuhnya. Kesadaran yang menyiratkan kepercayaan
(keimanan) dari obyek (makhluk) kepada Subyek (Tuhan). Keimanan adalah
kebaikan yang menjadi landasan bagi kebaikan yang lain. Sehinggu seperti
itulah konstruksi kebaikan-kebaikan yang benar, karena apapun kebaikan
hanya bisa terjadi setelah keber-ada-annya. Keber-ada-an tidak dapat
dinafikan selamanya.
Selain itu, dikarenakan akibat dari suatu kebaikan/
keburukan adalah muncul atas perintahNYA, maka keimanan tentunya juga
menjadi syarat wajib dari rangkaian sebab akibat pada baik-buruk.
Tuhanlah yang melakukan perhitungan tersendiri dalam menentukan
akibat-akibat dari kebaikan atau keburukan. Sehingga apabila keimanan
tidak ada, berarti menafikan Tuhan, maka tak ada perhitungan atas
kebaikan-keburukan yang lain. Yang ada hanyalah “keburukan” atas
ketidak-imanan.
Bisa dikatakan bahwa kebaikan yang berada di luar
landasan keimanan adalah kebaikan yang tidak sah, meskipun kebaikan itu
baik bagi sesama. Di sini hukum baik-buruk tidak berlaku lagi, namun
demikian hukum benar-salah selalu berlaku bagi semua makhluk termasuk
yang tidak beriman. Di antara hukum benar salah itu adalah siapa yang
bekerja keras dan bersungguh-sungguh, maka akan memperoleh hasilnya.
Kebaikan yang berada di landasan iman, adalah
perwujudan dari rasa syukur (juga kecintaan) kepada Tuhan, yang sebagian
besar terwujudkan dengan pengorbanan-pengorbanan, dan juga terwujudkan
dalam bentuk kesabaran-kesabaran karena prasangka yang baik kepadaNYA.
.
Sifat Kebaikan
Sifat kebaikan, adalah segala sesuatu yang dapat
meningkatkan keyakinan atas kepercayaan kepada Tuhan. Keyakinan kepada
Tuhan adalah kenikmatan batiniah, yaitu kenikmatan tertinggi, yang
secara lahiriah terentang di antara kesengsaraan dan kenikmatan. Pada
titik tertinggi, keyakinan dalam keimanan mungkin bagaikan me-rasa-kan
kehadiran DzatNYA, yang mampu mengabaikan rasa terhadap zat-zat makhluk.
Itulah yang mungkin dipraktekkan oleh para Nabi sehingga memiliki
kesabaran diri yang luar biasa terhadap berbagai kenikmatan maupun
kesengsaraan duniawi.
Akan tetapi, apa yang diajarkan oleh Tuhan Yang
Maha Penyayang (melalui agama) adalah kebaikan yang sekaligus kebenaran,
agar manusia mendapatkan kenikmatan yang menyeluruh, yaitu kenikmatan
batiniah yang diikuti kenikmatan lahiriah. Pada kenyataannya banyak
manusia beriman yang menginginkan kenikmatan lahiriah juga, sebagaimana
sering terlantunkan dalam doa-doa yang dipanjatkan kepadaNYA. Namun tak
jarang juga ada sebagian kaum beriman yang memilih keadaan lahiriah yang
minimal bahkan menyengsarakan sebagai pilihannya sendiri demi
kecintaannya kepada Tuhan. Banyak kisah-kisah mengharukan dimana
pengorbanan jiwa dilakukan atas dasar keyakinan yang besar kepadaNYA.
Wallahu a’lam