Selamat datang.. Hingar bingar di sekeliling mari diambil hikmahnya, karena keadaan masyarakat akan berubah bila diri kita berubah. Salam hangat!

Tuesday, September 10, 2013

Takdir Semesta ? (makna hidup)

Sejak awal keberadaannya, semesta adalah suatu ke-khas-an yang sudah ditentukan. Lalu ke-khas-an itu bereaksi dalam dirinya sendiri, dengan reaksi yang khas (ter-tentu) pula. Jadilah ia berubah wujud. Hanya berubah susunan, bukan perkembangan ataupun pertumbuhan (penambahan). Perubahan susunan itu alami begitu saja mengikuti reaksi dalam dirinya sendiri. Ada pengelompokan, ada pemisahan sehingga terjadilah berbagai bentuk kombinasi materi-energi. Terjadilah berbagai perwujudan. Semua materi-energi berlaku reaksi yang sama dan konsisten.

Sampai pada fase tertentu, kombinasi itu itu mewujudkan kehidupan di dalamnya. Dalam bentuk sel, tanaman, hingga manusia. Dengan adanya kehidupan, semesta ini dapat merasakan dirinya sendiri. Setidaknya melalui susunan tubuh manusia yang bisa kita ketahui bersama. Seiring perjalanan kehidupan, terjadilah penambahan nilai bagi rasa, seperti rasa nyaman dan kesenangan. Itu karena akal manusia berfungsi sebagai alat pantul semesta. Berbagai informasi masuk ke akal manusia dan kemudian terpancar melalui aktifitasnya. Aktifitas yang memunculkan berbagai aspek pengetahuan dan teknologi yang memudahkan.

Dalam penambahan nilai bagi rasa ini, tak bisa dilepaskan oleh peran semua makhluk hidup di luar manusia. Mereka semua setiap saat bekerja merubah susunan materi dan energi menjadi manfaat lebih. Sekalipun ketika alam dirusak oleh manusia, mereka tetap bekerja walaupun sebagian pekerjaan mereka kadang menjadi kontra produktif bagi manusia. Misalnya sekelompok tomcat yang masuk ke permukiman dan melukai manusia, karena habitat tomcat yang dirusak oleh manusia. Tomcat terus bekerja bagi kehidupan, namun ia menjadi kehilangan arah dalam pekerjaannya itu akibat ketidak seimbangan ekosistem.

Rasa yang ada dalam kehidupan, hanya dapat menyaksikan dan merasakan, tak dapat ia memilih sikap. Apa yang dinamakan kehendak, pada dasarnya hanya rasa (efek), bukan sesuatu yang mandiri/ bebas. Apa yang dirasakan individu saat memilih, pada dasarnya adalah efek kalkulasi reaksi pantulan semesta yang terjadi dalam ranah materi-energi.

—-

Dari uraian di atas, kehidupan apabila ditilik dari sudut pandang ilmiah, adalah suatu reaksi materi-energi yang bisa diformulasikan walaupun mungkin tidak akan pernah sempurna.
Apakah itu berarti bahwa kehidupan hanya memiliki hukum materi-energi? Pada tingkatan dasar, iya.
Tetapi pada tingkat yang lebih tinggi, kehidupan memiliki hukum yang lain, yaitu hukum baik-jahat. Hukum baik-jahat tidak di level yang sama dengan hukum materi-energi, sehingga masing-masingnya dapat berjalan secara mandiri. Yang satu tidak akan mengganggu yang lain.

Keberadaan hukum baik-jahat ini karena ke-khas-an semesta dalam reaksinya memiliki sebaran pola (skenario) yang khas pula. Perjalanan paralel dari semesta sebaran skenario itu memiliki benang merah yang mencerminkan konstruksi hukum baik-jahat. Kebaikan menuai kebaikan. Kejahatan menuai keburukan.Secara langsung maupun tidak langsung sesuai kalkulasi tertentu. Dalam satu kehidupan maupun lintas kehidupan.

Kitab suci menerangkan formula dari semesta skenario, sebagai informasi verbal (software) yang melengkapi informasi empiris semesta (hardware) yang diterima. Kitab suci memberikan kerangka acuan yang memungkinkan kemanfaatan hidup bergerak terarah naik.

Kitab suci banyak menerangkan bagaimana kaum dzolim kemudian tertimpa azab akibat kedzolimannya itu, misalnya gempa bumi. Apabila ditilik dari metode ilmiah, jelas tidak akan ditemukan sebab-akibatnya. Tetapi penjelasannya adalah : semesta skenario tersambung antara skenario manusia yang dzolim dengan pergerakan dalam inti bumi. Kejadiannya akan tepat berunutan. Namun perlu diperhatikan juga bahwa tidak semua bencana diartikan azab. Azab ataupun musibah, akan diartikan sesuai alur dari tiap individu yang spesifik.

Problem Kebenaran ?

Kebenaran bukan sesuatu yang rumit. Kebenaran adalah perubahan. Karenanya diperlukan batin yang selalu tenang untuk menghadapinya, maka hidup pun bahagia. Ketenangan batin itulah kebahagiaan. Batin yang memandang perubahan sebagai sesuatu yang wajar.

Apabila sekarang hidup besok mati, pantes.
Sekarang enak nanti bosen, wajar.
Sekarang merasakan pahit besoknya dapat yang manis, wajar juga.
Sekarang kesakitan nanti nyaman, ok.
Sekarang dipuja besok dimaki, biasa.
Sekarang kepanasan lanjut kedinginan, kenapa tidak?
Sekarang having fun besok kena bencana, bisa saja.
Sekarang gagal tahun depan sukses, maklum.
Sekarang berusaha keras tapi tak berhasil, lain waktu diam saja malah dapat hasil, ya begitulah.

Segala keadaan, tak akan diterima sebagai kesengsaraan manakala batin selalu merasa tenang.
Tetapi apakah semudah itu mengkondisikan batin untuk tenang?
Itulah problem umat manusia, dari dulu hingga kini.

Semakin bertambah pengetahuan, semakin bervariasi bentuk perubahan di muka bumi.
Maka agama hadir untuk mengkondisikan batin manusia agar selalu tenang menatap perubahan.
Bagaimana yang tak percaya pada agama?

Ya tentu dipersilahkan untuk mencari-cari sendiri caranya. Dan, bahagia atau tidak bahagia pun adalah hak tiap individu.

Apakah 'Ruang' itu? Apakah 'Kosong' itu ?

Adalah istilah imajiner (bayangan) yang gunanya membantu pikiran ketika berbicara tentang suatu keadaan ter’tentu’.
Ruang dalam arti materi sesungguhnya tak ada. Tulisan ini salah satunya dimaksudkan agar kita tidak terkecoh tentang konsep ADA.

Misalkan berbicara tentang atom, akan terbayangkan ruang atom. Misal berbicara tentang perangkat meja makan yang dipakai untuk makan, akan terbayangkan ruang makan. Berbicara tentang sekelompok perangkat yang dipakai untuk menerima tamu, akan terbayangkan ruang tamu.

Ruang yang di situ-situ saja bisa memiliki makna yang berbeda di waktu yang berbeda. Misal ruang makan bisa dirubah menjadi ruang tamu apabila perangkat meja makannya disingkirkan dan diganti perangkat meja tamu. Ruang rekreasi yang menyenangkan bisa berubah menjadi ruang penjara yang menyengsarakan bila di tempat rekreasi itu kemudian dibangun penjara. Ruang pemandangan alam yang indah bisa berubah jadi ruang bencana alam yang mengerikan apabila alam di situ mengalami bencana dahsyat.

Lebih dari itu, ruang yang di situ-situ saja juga bisa memiliki makna yang lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan.
Misal sebuah ember yang terdiri dari bongkahan es yang sebagian telah mencair, maka di situ setidaknya terdapat ruang air, ruang udara, dan ruang es.
 
Lebih jauh lagi, keadaan di sekitar kita juga sebenarnya adalah ruang yang multi makna sekaligus, yang terdiri dari :
-       - Ruang udara,
-       - Ruang bakteri,
-       - Ruang gelombang pesawat radio,
-       - Ruang gelombang pesawat televisi,
-       - Ruang gelombang telekomunikasi seluler,
-       - Ruang magnet, dll

Apabila ada banyak ruang, berarti ada ‘batas’ antar ruang. Bahkan ada ‘jarak’ antar ruang. Tentu saja konsep ‘batas’ dan ‘jarak’ ini tidak selalu berwujud dalam satuan panjang. ‘Batas’ atau ‘jarak’ bisa berupa hal-hal lain tergantung keadaan yang sedang diamati.

Misal, ‘batas’ antara ruang es, ruang air dan ruang uap air, adalah pada suhunya.
Berdasarkan ilustrasi yang sederhana di atas, dapatlah dijadikan acuan dalam memahami lingkup yang lebih luas, tentang konsep semesta ini.

Semesta yang terletak antara bigbang dan blackhole, adalah suatu keadaan tertentu. Keadaan tertentu itu dapat teramati oleh sains yang menjadi bagian dari keadaan itu sendiri. Sebelum ‘keluar’ melalui big bang dan setelah ‘terhisap’ oleh blackhole, keadaan tertentu yang kita pahami ini adalah suatu keadaan tertentu yang lain.

Ruangan keadaan tertentu yang lain, adalah di sini-sini juga, hanya kita tak dapat menjangkau itu karena sifatnya yang berbeda dengan sifat sains. Hal itu identik dengan keberadaan ruang air di antara bongkahan es yang bergerak mencair.

Berapa macam dan berapa banyakkah keadaan tertentu yang lain itu? Jelas kita tidak akan tahu.
Yang jelas adalah bahwa kita tidak bisa menyatakan bahwa awang-awang (yang terlihat kosong) ini adalah hampa mutlak. Tetapi di balik kekosongan itu sesungguhnya ada berbagai keadaan tertentu yang mungkin sekali memiliki otoritasnya sendiri (mandiri).

Iman, Keterkungkungan Manusia, dan Kekuasaan Tuhan

Memang demikianlah. Kalaupun seseorang mengaku bertuhan, tuhan itu tak lain adalah persepsinya sendiri. Persepsi itu bergerak-gerak. Bisa naik, juga turun. Pemahaman yang semakin mendalam lazimnya akan membawa persepsi yang beranjak naik. Sebaliknya pemahaman yang menyempit akan menurunkan persepsi tentang Tuhan.

Persepsi seseorang yang sudah tinggi, tetap saja tak akan menjangkauNYA. Maka dia akan mencoba lagi menaikkan persepsi itu, begitu seterusnya manusia berjuang mendekati Tuhan. Perjuangan menaikkan persepsi itulah yang punya makna bagi orang tersebut, bukan pencapaian kepada Tuhan.
Maka sekali lagi, betapapun manusia berusaha, tak akan dia mampu menjangkau Tuhan. Akan tetapi hal itu tak berarti bahwa dia telah melakukan sesuatu yang sia-sia. Ketidak mampuan manusia menjangkau Tuhan itupun tidak berarti dia terputus dengan Penciptanya. Tidak sama sekali.

Manusia di belantara keberadaan, laksana ikan yang berenang di dalam aquarium. Ketika lapar, dia hanya dapat bergerak penuh pengharapan di dalam aquarium itu. Ikan tak akan dapat menepukkan siripnya ke sang pemilik. Tetapi pada saat itu, sang pemilik ikan tersenyum melihat polah sang ikan dan ia pun memasukkan makanan bagi si ikan.

Tuhan lah yang akan menjangkau makhlukNYA. DIA kan tahu di antara hambaNYA yang telah berusaha mendekatkan diri kepadaNYA, siapa yang telah berhenti berusaha. Siapa di antara hambaNYA yang telah mengerahkan daya dengan kesungguhan, siapa yang hanya berpura-pura, siapa yang acuh tak acuh. DIA tahu siapa yang telah memelihara kesombongan dalam hatinya, DIA tahu apapun yang terjadi.

Adapun tentang persepsi itu, tidaklah bermanfaat sama sekali bagi Tuhan. Ia hanya akan menjadi kebaikan bagi manusia sebagai tangga-tangga menuju kepadaNYA. Selain daripada itu, persepsi-persepsi yang baik akan membawa hikmah perubahan hidup sehari-hari, paralel terhadap upayanya mengolah berbagai potensi dirinya.

Persepsi tidak berbeda dengan bahasa. Bahasa adalah persepsi tentang berbagai hal. Kata “meja” mewakili obyek meja, meskipun kata “meja” itu tak mampu melukiskan secara tepat wujud meja yang sesungguhnya. Tetapi meskipun tak tepat betul, kata-kata sangat memudahkan manusia. Seseorang tidak perlu selalu memeluk meja untuk mengungkapkannya kepada orang lain. Cukuplah dia mengatakan “meja”, maka orang yang diajak bicara akan mengerti. Dengan bahasa lah manusia membangun berbagai pengetahuan. Dengan bahasa manusia membangun peradaban.

Maka begitu pula persepsi tentang Tuhan yang Maha Suci. Persepsi meskipun tak pernah menjangkau Tuhan, tetapi persepsi itu akan menjadi alat bantu manusia dalam mewujudkan kemuliaan-kemuliaan dalam hidupnya. Cita-cita luhur senantiasa akan tergantung untuk dicapai. Terus menerus cita-cita itu meninggi, dan karenanya terus menerus pula ia akan berusaha meningkatkan kualitas dirinya.

Semesta Muncul dengan Sendirinya?

Pertanyaan yang sederhana saja. Sebagian orang berpendapat bahwa semesta ini tercipta dengan sendirinya. Yaitu big bang muncul dengan sendirinya oleh proses yang terjadi di dalam dirinya sendiri. Nah, kalau memang demikian, kenapa big bang tidak pernah terjadi lagi sejak 13,7 Milyar tahun yang lalu? Dalam kurun waktu yang luar biasa panjang itu, tak pernah muncul lagi peristiwa big bang kedua, big bang ketiga dst di kolong langit ini. Mungkin jawabannya adalah karena tidak ada “syarat” terbentuknya big bang selanjutnya. Apakah harus ada syarat lagi ketika dikatakan bahwa semua terjadi dengan sendirinya?

Pada kenyataannya, big bang hanya terjadi sekali sehingga semesta ini sampailah pada suatu keadaan di mana memunculkan kehidupan di dalamnya. Semesta ini begitu langgengnya, selama belasan Milyar tahun tidak terinterupsi atau terganggu oleh sesuatu yang merusaknya sehingga manusia dapat terbentuk dan berkehidupan di dalamnya. Dan setelah kehidupan terjadi, kelak semesta akan masuk ke dalam black hole, sebagai ujung perjalanan realitas yang dapat ditangkap manusia.

Jadi, perjalanan semesta ini ditilik dari sudut pandang manusia menjadi sesuatu yang tidak biasa. Punya makna alias tidak sia-sia. Tidak asal-asalan, tetapi punya tujuan yang teguh berjangka panjang untuk melahirkan manusia-manusia.

Tetapi lihatlah kemudian, betapa di antara manusia yang terlahir itu ada yang bertindak asal-asalan dengan menyakiti yang lainnya secara semena-mena hanya karena ia merasa lebih kuat, lebih kaya, lebih cerdas?

Apakah mungkin bila skenario umum semesta itu tak memiliki skenario kepada para individu yang telah berbuat sombong itu?

Tanda-tanda ke-Agung-an Tuhan: dulu, kini, dan nanti

Tanda-tanda keagungan Tuhan, tidaklah selesai di “masa lalu” di mana alam pertama kali terlihat (muncul). Semesta alam tidaklah hanya seperti seonggok kursi yang telah selesai dikerjakan dan tak ada kelanjutannya. Tetapi kemaha-kreativitasanNya adalah mengadakan wujud alam, proses, serta alur maknanya sekaligus dalam “penciptaan” itu. Sehingga “perbuatan”Nya masih terus berlangsung pada saat ini dan seterusnya. Hal ini kiranya dapat digunakan sebagai jalan pendukung untuk mengenali eksistensiNya. Bahwa Dia senantiasa “hidup”.
 
Perjalanan semesta sebenarnya tidaklah bodoh-bisu-tuli. Memang, masing-masing kejadian bergulir secara otomatis, di mana bagian per bagian dapat dijelaskan prosesnya (secara terbatas) oleh sains. Dalam lingkup terbatas penelitian, kejadian dapat diprediksi hasil (akibat) nya. Hal tersebut menandakan bahwa manusia memiliki kekuasaan terhadap hal-hal yang sifatnya terbatas, yang kemudian disalah artikan bahwa perjalanan semesta ini pasif bahkan mati dan dapat diperlakukan sesuka manusia.

Namun dalam kejadian yang lingkupnya adalah kompleksitas semesta – yang mana sulit terjangkau maupun terkuasai oleh sains – terdapat makna yang lebih tinggi. Bagaimana ternyata perjalanan semesta itu memiliki muatan moral yang hidup, mampu melihat dan berbuat berdasarkan asas baik buruk. Yaitu penglihatan dan perbuatan yang jauh mengungguli penglihatan dan perbuatan “kasar” manusia.

Bagaimana melihat makna dari semesta kehidupan itu. Setidaknya ada 2 cara. Yang pertama adalah melihat alur sejarah hidup umat manusia, akan tetapi perlu dicatat bahwa periode kehidupan yang sudah dapat disaksikan adalah baru sebagian. Sedangkan cara yang kedua adalah dengan menyelami ruang batin manusia sebagai tempat bermuaranya segala kompleksitas semesta. Pada ruang batin itu lah bersemayam akal cerdas semesta yang berisi tujuan-tujuannya.

Tidak setiap manusia berkemampuan sekaligus berkesempatan menyelami ruang batinnya masing-masing. Para Nabi dipercaya sebagai manusia yang berkemampuan dan berkesempatan dalam hal tersebut. Dari mereka lah tereksplore kecerdasan semesta. Dari mereka lah keluar peta batiniah yang dapat dicopy paste kepada umatnya. Peta batiniah itu adalah kitab suci, suatu alat bantu bagi manusia awam dalam mengeksplore arah dalam dirinya sendiri atau semesta alam.

Akan tetapi tidak setiap manusia dapat melakukan copy paste Kitab Suci ke dalam batinnya. Hal tersebut dikarenakan terdapat suasana (kabut) penghalang sehingga alam batinnya tak dapat tertembus oleh suara Kitab Suci. Alam batinnya tak mampu beresonansi tentang iman dan ketuhanan dikarenakan kabut penghalang. Kitab Suci hanya bertempat tinggal di kemampuan kognisi, dan karenanya akan tertolak.

Moralitas bagi Kesadaran

Bagaimana alam ini berada “sebelumnya”, manusia tak mengerti caranya.
Tetapi ketika Kitab Suci mengatakan sesuatu tentang “nanti”, ia bertanya : “bagaimana mungkin?”.
Sebagian manusia mengira bahwa keberadaan kehidupan saat ini adalah produk terhebat dan terakhir dari keberadaan. Sehingga berkesimpulan tak akan ada lagi kehidupan setelah ini. Tetapi mungkin ia terlupa bahwa sebenarnya tak ada batas tentang kemampuan keberadaan. Karena yang “ada” pastilah berdiri bebas sebebas bebasnya di atas ketiadaan.

Terlebih ketika pikiran secara alamiah mampu bercita-cita tentang hal yang ideal, maka alangkah naifnya apabila keberadaan yang telah memproduksi pikiran itu tak dapat memenuhi apa yang terlahir dari pikiran manusia.

Berbicara tentang keberadaan saat ini, apa yang paling tinggi bagi manusia adalah moral hidup. Moral dalam kesadaran. Moral yang mengakui bahwa manusia adalah produk, sehingga ia selayaknya berterimakasih dan tidak menyombongkan diri.

Bermoral kepada Kedahsyatan tak terbatas, dengan cara mengakui adanya kemampuan tak terbatas yang berada di luar manusia.

Bermoral kepada Keabadian, dengan cara mengakui adanya keabadian yang berada di luar rentang waktu manusia.

Bermoral kepada Kebebasan tak terbatas, dengan cara mengakui adanya kehendak yang bebas atas manusia.
Dalam menyaksikan kenyataan hidup manusia, pikiran secara alamiah mengiyakan keadilan dan kedamaian. Maka keadilan dan kedamaian itu pastilah terwujudkan oleh Kedahsyatan tak terbatas. Kedahsyatan yang telah membuat produk yang berwujud pikiran manusia.

Bagaimanakah keadilan dan kedamaian sejati itu terwujud? Manusia tak perlu mengenyitkan dahi, sebagaimana ia tak mengerti tentang asal muasal sejati dari segalanya.

Menjadi Pribadi Rasional Murni, Mungkinkah?

Menurut Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Rasional) :
Rasional diambil dari kata bahasa inggris rational yang mempunyai definisi yaitu dapat diterima oleh akal dan pikiran, dapat dipahami sesuai dengan kemampuan otak. Hal-hal yang rasional adalah suatu hal yang di dalam prosesnya dapat dimengerti sesuai dengan kenyataan dan realitas yang ada. Biasanya kata rasional ditujukan untuk suatu hal atau kegiatan yang masuk diakal dan diterima dengan baik oleh masyarakat.
….. Contoh dari tindakan rasional antara lain seperti:
  • Seorang penjahat diadili karena kejahatannya
  • Seseorang harus menabung agar menjadi orang kaya
  • Seseorang tidak mempercayai hal - hal yang belum dilihatnya
———-
Berapa banyak kata rasional muncul dalam diskusi-diskusi pemikiran. Mungkin sebagian kita (termasuk penulis) mengklaim dirinya sebagai orang yang rasional. Tetapi boleh jadi kita lupa untuk meneliti seberapa konsistenkah berpegang pada prinsip kerasionalan.
Mohon maaf artikel ini tidak serta merta membenarkan seluruh definisi dari Wikipedia di atas, bisa jadi terdapat persamaan dan juga perbedaan pada beberapa hal.

Menurut saya, rasionalitas adalah suatu pengambilan keputusan berdasar akal sehat terhadap realitas, bersifat matematis (penuh perhitungan). Karenanya, rasionalitas idealnya universal, kerangkanya tidak terpengaruh oleh tingkat kemampuan otak seseorang, tidak subyektif. Namun rumusan ini adalah suatu rumusan umum. Secara aplikatif, akan terdapat skala dalam rasionalitas dikarenakan dua faktor kunci:

1.      Faktor pertama, yaitu kondisi akal manusia yang tidak (atau tidak selalu) sehat 100%. Akal yang sehat 100% ibarat kalkulator yang prima, sirkuit dan powernya tidak ada masalah. Sedangkan akal yang kurang sehat ibarat kalkulator yang kurang prima, yaitu kadang error, bahkan kadang off di tengah operasional.
2.      Faktor kedua, yaitu kondisi realitas yang menjadi materi dalam pertimbangan itu tidak bisa 100% terinput.

Dengan adanya dua faktor di atas, terdapat tingkat rasionalitas yang berlainan antara satu orang dengan yang lain.

Faktor kesehatan akal berkorelasi pada ketajaman intelegensia dan keterikatan psikologis. Seringkali atau bahkan selalu, sisi emosional mempengaruhi cara berfikir sehingga tidak lagi obyektif. Sedangkan faktor kedua yaitu kondisi terhadap realitas berkorelasi dengan ketajaman pandangan terhadap lingkungan dan berbagai hal yang mempengaruhi. Kondisi memori juga akan mempengaruhi seberapa banyak realitas yang dapat dilibatkan.

Sebenarnya ada yang kurang dari rumusan rasionalitas di atas. Yakni tentang tujuan atau manfaat: untuk apa kita harus rasional? Maka yang menjadi tujuan dari rasionalitas pastinya adalah kebaikan. Yakni kebaikan diri yang secara otomatis mensyaratkan kebaikan lingkungan, karena diri berada dalam lingkungan. Tetapi di sini penulis menggaris bawahi, bahwa dua faktor kunci yang wajib diperhatikan dalam rasionalitas, yaitu faktor akal dan realitas.
 
Mungkinkah manusia bertindak rasional murni dan sempurna?

Untuk menjadi rasional murni, manusia haruslah memastikan pola pemikirannya sejalan dengan rumusan yang logis - matematis. Netral dan obyektif. Setelah itu, dia harus memperhitungkan segala realitas yang sesungguhnya. Tentang jati diri dan lingkungannya. Dengan perhitungan yang menyeluruh itu maka rasionalitas menjadi sempurna.

Secara ilmiah, keberadaan manusia berasal dari lingkungan atau alam. Semua materi yang menyusunnya mulai dari DNA, otak hingga keringatnya, berasal dari alam. Tersusun oleh partikel-partikel dasar yang sama persis dengan yang ada di alam. Ringkasnya, manusia adalah bagian dari alam. Manusia hidup dan mati, sedangkan alam menjadi induknya. Maka apa dan bagaimana alam itu sesungguhnya, adalah ruang realitas yang harus diketahui wujud pastinya. Dengan menemukan hakekat keberadaan alam, manusia dapat melakukan pemikiran logis secara sempurna dan pasti. Dengan perhitungan yang sempurna, kebaikan sejati dapat ditentukan.

Menelusuri alam, tak ada manusia yang lebih berkompeten melakukannya selain kelompok ilmuan dengan segala riset yang turun menurun menghasilkan rumusan beserta teknologi canggihnya yang telah memakan biaya besar. Sayangnya, sampai saat ini ilmuan belum dapat mencapai ujung pengetahuan tentang alam semesta.
Boleh dibilang sudah sangat jauh “mata” teknologi mengamati dan mempelajari alam semesta, baik itu jauh secara jarak maupun jauh secara waktu ke masa lalu dan ke masa depan. Namun ujungnya ternyata masih dalam “kegelapan”. Bagaimana kondisi yang lebih awal dan bagaimana kondisi yang lebih akhir dari alam semesta ini sebenarnya berwujud, belum mampu ditelusuri.

“Mata” teknologi juga sudah sangat mendalam dalam mengamati dan mempelajari partikel hingga ke level sub atomik. Laboratorium super megah pun dibuat untuk memecah partikel demi mendapatkan apa yang sebenarnya terjadi pada lingkup dasar. Tetapi hasil dari percobaan itu belum didapatkan jawaban dari semua pertanyaan.

Di sisi lain yang tak kalah pentingnya, adalah pencapaian ilmuan dalam merumuskan hukum-hukum yang berlaku di alam. Terdapat empat hukum dasar yang dipastikan mempengaruhi segala gerak materi, yaitu hukum gravitasi, hukum elektromagnet, hukum nuklir lemah dan hukum nuklir kuat. Namun pencapaian ini menyisakan pertanyaan besar, yaitu hukum tunggal yang bagaimanakah yang dapat menyatukan (menjelaskan) keempat hukum tersebut. Salah satu artikel di kompasiana telah membahas hal ini :

http://edukasi.kompasiana.com/2011/08/27/teori-segala-sesuatu-391734.html. Atau bisa ditemukan di wikipedia : http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_dawai.

Nah, manusia sekarang berada pada titik ini, yaitu pada suatu titik di mana pe-ngerti-an terhadap alam semesta mengalami ketidak-tuntasan. Dengan ketidak-tuntasan materi realitas, maka kesempurnaan rasionalitas otomatis gugur demi keterbatasan pengetahuan.
Sehingga kembali pada yang telah disampaikan di awal, terdapat skala rasionalitas pada manusia yang kadarnya di bawah kesempurnaan.

Seberapa tinggi (valid) manusia dapat mencapai rasionalitas, ditentukan oleh berapa persen realitas yang dapat dimasukkan dalam perhitungan. Namun sejujurnya persen realitas ini tak dapat ditentukan karena tidak diketahuinya total semesta realitas yang sejati.
Terkait ketidak-tuntasan realitas yang dapat dimengerti, manusia yang berusaha rasional setidaknya terbagi kepada dua pilihan sikap:

1.      Tidak peduli pada realitas yang belum dapat terkuak itu, dengan menganggapnya tidak akan membawa hal penting terkait pengertian yang sudah ada tentang alam ini. Mereka meyakini bahwa hidup tetaplah seperti “begini” adanya. Sang Aku terlahir, hidup, lalu mati, sudah. Tidak ada yang lain selain itu. Eksistensi kejadian yang belum dapat tertangkap oleh manusia, diabaikan dalam perhitungan akalnya. Mereka merasa sudah mantap dengan pencapaian yang ada dalam menentukan berbagai keputusan hidup. Namun karena tidak adanya hukum tunggal yang menjadi pegangan, maka rasionalitas mereka berjalan terpisah-pisah antara satu aspek hidup dengan aspek hidup yang lain (parsial).

2.      Menganggap bahwa realitas yang belum dapat diketahui itu bisa jadi sangat berpengaruh terhadap keseluruhan konsep realitas yang telah dipahami sekarang, karena realitas yang belum terkuak itu diyakini sebagai kerangka utama kehidupan. Maka rasionalitas mengalami kemendegan informasi inputan. Konsekuensinya mereka tak mau mengandalkan cara berfikir rasional untuk hal-hal yang sifatnya prinsipil. Hal-hal prinsipil diserahkan pada otoritas yang diyakini mampu membawa pencerahan, di antaranya dengan beragama. Mereka tetap menggunakan cara berfikir rasional untuk sisi hidup yang praktis-praktis saja.


Terakhir, ada yang penulis setujui dari statement Stephen Hawking, di mana mengisyaratkan pentingnya memahami alam semesta secara menyeluruh :
 
“My goal is simple. It is a complete understanding of the universe, why it is as it is and why it exists at all.”
“If we do discover a complete theory, it should be in time understandable in broad principle by everyone. Then we shall all, philosophers, scientists, and just ordinary people be able to take part in the discussion of why we and the universe exist.”

Akan tetapi, sebelum semua misteri itu terungkap (atau mungkin tak pernah terungkap), sangat mungkin penulis telah habis menjalani hidupnya di bumi. Karenanya, keputusan atas hal-hal prinsipil yang mendasarkan diri pada keyakinan kepada Tuhan Yang Esa, yang diyakini membawa kebaikan lintas waktu, semoga tak akan pernah terlepas.

Kenapa semua ini "Ada" ?

Karena adanya keajaiban. Yaitu adanya materi.
Kenapa ada batu, ada planet, ada galaksi.
Seharusnya alam ini tak ada. Aku tak ada, tanah tak ada. Cahaya tak ada, siang tak ada, malam tak ada. Nihil.

Tapi nyatanya? ada materi. Inisiatif siapa yang mengadakan itu? Bukan ide mu, bukan ide mereka. Tak pernah terlintas siapapun yang terlahir sebagai materi.
Ini sesuatu yang jelas. Sangat jelas.
Tuhannya batu itu ada. Karena batu itu nyatanya telah ada.

Dan,
Seandainya alam ini hanya berisi bebatuan, cukuplah sains sebagai alat kuasa Tuhan.
Tetapi ternyata di antara bebatuan itu terdapat nilai-nilai kesadaran. Maka kuasa Tuhan pastilah meliputi itu, kesadaran itu.
Kebaikan, kejahatan, semua pasti dalam kuasaNYA.

Wednesday, February 20, 2013

Pertanyaan vs Realitas Hidup

Pesawat sudah lepas landas 30 menit yang lalu. Paijo yang tadinya anteng sejak dari rumah, kini tiba-tiba ribut dengan pertanyaan-pertanyaan ke ayahnya.

“Kenapa harus naek pesawat sih Pah, gak pake Bis atau Kereta aja?
“Koq Papah mau dibawa terbang gini? Kalau jatuh gimana donk?”
“Kita mau ke Australia ya? Australia itu tempat apaan sih Pah? Buat apa kesana?”
“Trus, ini koq bawa jaket tebal, sarung tangan dan topi gunung gunanya buat apa, kan di Jakarta udara panas sekali?”
“Buku Bahasa Inggris ini apa Pah? Kenapa perlu belajar, gunanya buat apa, kan pake Bahasa Indonesia sudah bisa?”

Ayahnya Paijo memang sabar, dia coba jawab satu persatu pertanyaan dari anaknya. Tapi dasar Paijo memang lagi hobi kritis, di terus aja tanya ini itu ke ayahnya sepanjang perjalanan.
Pesawat itupun terus saja melaju, tanpa peduli bahwa di dalam kabinnya terdapat session tanya jawab sengit antara seorang anak dan ayah. Beberapa jam kemudian pesawat bersiap melakukan pendaratan, dan Paijo dengan segala ketidakmengertiannya dipaksa ayahnya mengenakan jaket, sarung tangan dan topi gunung itu. Tak tahunya, setelah keluar dari pesawat itu dia menemui hujan salju dan angin dingin yang sangat.


Adalah wajar apabila rasa penasaran itu muncul di bumi. Penasaran terhadap hidup, bahkan terhadap sosok Tuhan. Tetapi sesungguhnya bumi terus meluncur kepada tujuannya, tak mungkin ia berbalik arah. Dan para Nabi sebagai manusia yang berkesadaran tinggi telah diberikan pengetahuan menghadapi masa depan oleh Yang Maha Kuasa. Maka bekal apakah yang sudah kita persiapkan, di samping sibuk bertanya dan mencari jawaban ?

Sungguh menyeramkan apabila di ujung perjalanan itu ternyata hamparan salju sedangkan kita tak membawa apapun yang akan melindungi tubuh. Akankah protes keras di sana? Sedangkan di dunia ini telah mendapat petunjuk-petunjuk tentang itu? Malah ada yang menuduh Tuhan telah bermain tebak-tebakan? Duh …!

Makna Kesedihan Mengenang Perjuangan Rosul SAW

Kita yang mengaku cinta Rosul tentu bersedih apabila mendengar kisah bagaimana Beliau berjuang di antara penduduk Mekah.
Tetapi mungkin kita terlupa akan salah satu makna kesedihan itu. Di mana dalam kesedihan itu, mungkin kita bertanya-tanya :

“Kenapa mereka yang tidak setuju dengan ajaran Rosul itu tega menghimpit, menghina, menyakiti hati dan tubuh Rosul?” 


Terlepas dari sikap pemaaf yang luar biasa dari Rosul,
Maka kita ini apabila melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan mereka yang tidak setuju kepada Rosul itu. Yakni gemar menghimpit, menghina, menyakiti hati dan tubuh siapapun yang tidak kita setujui,

Sesungguhnya itu tidak jauh berbeda dengan membenarkan kejahatan yang mereka lakukan kepada Rosul.

Semoga kita selalu diberi kelapangan untuk ber-introspeksi diri agar kecintaan kita kepada Rosul menjadi berarti. Astaghfirullahal ‘adziim..

Sholawat dan Salam kepada Rosululloh, penyampai ajaran rahmatan lil ‘alamiin.

Tentang Takdir (1)

Semua yang terjadi adalah takdirNYA. Termasuk hujatan-hujatan kepadaNYA, adalah juga takdirNYA.
Hujatan-hujatan yang dilontarkan tanpa emosi karena hendak memprovokasi, ataupun hujatan yang memang disampaikan dengan emosi, adalah takdirNYA.

TakdirNYA memang demikian, ada yang baik, ada yang buruk.
Ada peperangan yang dilatarbelakangi saling emosi pada keduanya,
Ada peperangan yang dilatarbelakangi persepsi suci pada keduanya,
Ada peperangan yang dilatarbelakangi kombinasi pada keduanya,
Semua adalah takdirNYA.

Dan manusia adalah agen takdirNYA.
Takdir baik, takdir buruk.
Namun manusia diberikan penglihatan, pendengaran, dan hati, seharusnya membuatnya tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Mana takdir neraka, mana takdir surga.
Sehingga manusia adalah agen bebas, untuk memilih tempat takdirnya sendiri.
Kalau dia mau, mampu lah manusia berganti takdir. Dari takdir baik ke takdir buruk. Dari takdir buruk ke takdir baik.

Tapi memang, untuk berganti takdir dari yang buruk ke yang baik itu harus menangkap energi. Energi perasaan. Sehingga mungkin terasa tak masuk akal untuk berpindah dari takdir buruk ke takdir baik. Mungkin berat, luar biasa berat.
Atau bahkan diri merasa telah berada di takdir baik, padahal sebenarnya di takdir buruk? Maka hanya dirinya sendiri dan Tuhan lah yang tahu.

Bagi yang percaya dengan takdirNYA, melihat berbagai kejadian seharusnya tidak membuat diri terheran-heran. Bahkan benci atau senang pun, seharusnya tidak, atau setidaknya sedikit atau sebentar saja.
Karena yang sudah terjadi adalah takdirNYA.
Apakah dengan terjadinya takdir buruk di sekitar lantas menyalahkan Tuhan? Tidak, mana berani menyalahkanNYA.
Apakah dengan terjadinya takdir buruk di sekitar lantas heran? Tidak, karena apa yang diperbuatNYA memang bisa dahsyat. Tak ada yang perlu diherankan.

Tetapi bagaimana terhadap manusia sekitar yang telah menjalankan takdir buruk? Manusia harus hormati dia, karena dia seperti itu atas kehendakNYA. Bagaimana mungkin manusia bisa melecehkannya, itu sama saja melecehkan kehendakNYA? Apa mau berurusan dengan Tuhan soal pelecehan itu? Tentu tidak, tidak berani.

Namun, kepada pelaku takdir buruk yang melanggar hak manusia lain, sudah sepatutnya bagi manusia yang percaya Tuhan untuk bersikap, yaitu berusaha mengembalikan hak manusia lain yang telah direbut. Itupun apabila manusia yang telah dilanggar haknya tidak memaafkan. Itupun harus dengan prosedur yang telah ditetapkanNYA, di antaranya adalah dengan strategi (akal).

Pengambilan sikap yang demikian, bukanlah menentang telah terjadinya takdir buruk, tetapi usaha diri agar selanjutnya menetapi takdir baik sesuai yang telah digariskanNYA. Dan, Tuhan tidak silau dengan usaha-usaha manusia yang bermotifkan kebaikan. Bercampurnya tindakan-tindakan buruk di antara yang baik, akan diperhitungkanNYA dengan teliti. Dan pada akhirnya, itupun adalah takdirNYA, bahwa seorang manusia setiap saat boleh jadi sedang menjalankan takdir buruk dan takdir baik sekaligus.

TakdirNYA, baik dan buruk.
Manusia adalah agen takdir itu. Tetapi setiap manusia sudah ada yang mengurusnya, yaitu Tuhannya. Tak layak bagi manusia untuk membenci ciptaanNYA. Dan boleh jadi Tuhan memiliki rencana yang lebih baik untuk dia dibanding ke diri sendiri. Manusia bisa apa? Mengurus diri sendiri tak akan mampu. Semua urusan adalah milikNYA.

Yang bisa dilakukan manusia atas manusia lain, hanyalah sebatas membenci tindakan buruk, bukan pelakunya. Karena yang tahu tentang manusia lain, adalah dia dan Tuhannya. Manusia tak akan bisa tahu, tanpa diberitahuNYA.

Ya, manusia memang bisa menduga. Tetapi dugaan itu hanyalah layak untuk diri sendiri, tak pantas untuk dijadikan alat perampasan hak atas orang lain tanpa dasar.

TakdirNYA …..
Wallahu a’lam

Yang Kutahu Pasti tentang Tuhanku

  1. DIA lah yang meng-ada-kan kesadaranku dalam sejarah manusia, sehingga aku dapat mengungkapkan rasa terimakasih padaNYA. Itulah kebaikan pertama dan terutama. Sebagai reaksi (yaitu berterimakasih) atas aksi terbesar yang aku terima (di-ada-kan) untuk keseimbangan hidup. Rasa terimakasih yang tak hanya di pikiran (mulut) saja, tetapi terwujud nyata dalam tindakan (respon positif terhadap perintah dan laranganNYA) yang mendukung kesejatian diri.

  2. DIA lah yang menyuruhku berbuat baik setinggi-tingginya untuk diri sendiri dan alam. Juga menyuruhku untuk menggunakan akal dengan sebaik-baiknya.

  3. DIA lah yang memberikan pengajaran sehingga dapat tertanam keyakinan dalam diri sebagai dasar yang kokoh tempat bersemayamnya segala kebahagiaan.

  4. DIA lah yang menjanjikan hasil kebaikan di masa depan, sehingga aku bertahan terhadap usaha kebaikan yg tak menghasilkan di masa kini. Dengan keyakinan itu, kebaikan selalu terpancar ke diri dan ke alam dengan tak henti-hentinya, tak terganggu oleh keadaan negatif apapun.

  5. DIA lah yang memberi cahaya hakikat nasib akhir jagad raya yang dahsyat ini, dan mengkabarkan kebahagiaan dan kesengsaraan kehidupan di masa depan. Dengan keyakinan itu, eksis lah berbagai upaya “sebab” yang terdedikasikan untuk “akibat” di kehidupan selanjutnya (kedua). Sebab-sebab kebaikan tertuju kepadaNYA sebagai Yang memasang neraca keadilan di jagad raya ini. DIA lah yang memastikan bahwa mustahil ada aksi yang tak menghasilkan reaksi, termasuk pada ranah batiniah. Tak ada kesadaran yang bakal dirugikan. Pada akhirnya, keyakinan ini melahirkan ketenangan karena jawaban yang tuntas atas pertanyaan dan penasaran alamiah seputar ketidakadilan dan berbagai misteri kehidupan.

Tulisan di atas memang baru sebatas semangat karena belum teraplikasikan seluruhnya. Mencoba untuk memahami Tuhan dalam bingkai “persepsi” yang menciptakan kebahagiaan dalam diri. Sejenak membebaskan diri dari berbagai paham “obyektif” tentang Tuhan yang melelahkan dalam perdebatan.


Pada setiap relasi antara individu A dan B selalu memiliki dampak eksternal (obyektif) maupun internal (subyektif). Dampak eksternalnya adalah perlakuan B ke A atau A ke B. Dan dampak internalnya adalah perubahan pada masing-masing diri A dan B.
Sedangkan relasi antara manusia dengan Tuhan, hanya akan berlaku dampak eksternal dan internal pada manusia, dan tidak berdampak apapun kepada Tuhan yang maha. Namun, ketika dampak eksternal pada manusia tak mudah untuk diulas di antara sesama, maka dampak internal menjadi hal yang penting untuk dijadikan salah satu pendekatan.


Ø£َعُوذُبِاللَّـهِ Ù…ِÙ†َالشَّÙŠْØ·ٰÙ†ِ الرَّجِيمِ
Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya teIah datang kepadamu kebenaran (Al Quran) dari Tuhanmu, sebab itu barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu”. (Yunus:108)

Tentang Kesadaran (1)

Tak dipungkiri, manusia memang mendambakan suasana damai. Harapannya yang ada di sekelilingnya hanyalah senyum dan sapa. Rasa syukur, saling mengasihi, berucap kata-kata yang jauh dari kebencian dan perbedaan. Dunia terasa indah, tentram dan semuanya bahagia.
Tapi sayangnya itu hanya utopia.
Karena realita berkata lain.

Karena sejatinya bumi ini bisa memunculkan tempat-tempat kenikmatan, tidak lain adalah karena ada peran matahari yang apinya menggelegar di atas sana. Dengan energi api matahari itu, bumi tercegah dari keadaan kedinginan yang mematikan. Tanpa benda alam sejenis matahari, bumi tak berkehidupan. Tapi dengan energi api itu pula, beberapa tempat mengalami keadaan panas yang tidak mengenakkan tubuh. Ada juga yang sampai menimbulkan kebakaran dan badai.

Magma bumi juga memiliki peran. Karena dari magma itu keluarlah batu-batuan dan mineral yang berguna. Dengan magma itu pula terbentuk gunung-gunung tempat hidup tanaman dan buah-buahan. Pemandangannya pun elok. Tetapi dengan magma bumi itu, tersimpan juga kekuatan yang memunculkan gempa yang mematikan, juga tsunami dan letusan gunung berapi.

Itulah secuil dari realita alam tempat manusia berpijak. Realitas yang bersambung dengan realitas diri antara lapar dan kenyang, sengsara dan nikmat, duka dan bahagia. Semua realitas tercampur baur menjadi realitas yang sungguh besar dan luas.
Maka manusia akan bertanya-tanya, kenapa begini? Bukankah suatu keindahan apabila yang ada hanyalah kenikmatan dan kedamaian? Kenapa pula harus menjadi tua dan mati?

Itulah memang kehidupan,
Kenyataannya memang demikian,
Manusia memang tak ada pilihan untuk terlahir ataukah tidak.
Tapi manusia bisa menolak kelahirannya apabila tak menghendaki, banyak cara untuk bunuh diri yang tak begitu menyakitkan.

Maka..
Ketika ia memutuskan untuk melanjutkan hidup, itu sama saja dengan penandatanganan kontrak persetujuan atas kelahirannya. Persetujuan atas kesadaran yang menyusul kelahirannya. Kesadaran akan realita. Dan secara gentleman, tak layak bagi manusia untuk mempertanyakan bahkan menggugat lagi.

Dan itulah awal bagi manusia untuk bertanggung jawab. Kepada kesadarannya sendiri dia bertanggung jawab.
Semua atas nama kesadaran.

Ya, kesadaran itulah.
Tempatnya memilih dan menolak,
Tempatnya nikmat dan derita,
Tempatnya keraguan dan keyakinan,
Tempatnya kepedulian dan pengabaian,
Tempatnya kasih sayang dan kekejian,
Tempatnya kebijaksanaan dan kecurangan,
Tempatnya kebohongan dan kejujuran,
Tempatnya kesombongan dan kerendah hatian

Ya, pada kesadaran itulah,
Tempat pertanggung jawaban pada setiap diri,
Apakah kesadaran itu akan memuliakannya,
Ataukah justru menyiksanya.

Tentang Kesadaran (2)

Dengan kesadaranlah manusia mengenali kepedihan dari kenikmatan,
Dengan kesadaranlah manusia mengenal keadilan dari kesewenang-wenangan,
Dengan kesadaranlah manusia mengenali kehinaan dari kemuliaan,
Dengan kesadaranlah manusia membedakan kemantapan dari kebimbangan,
Dengan kesadaranlah manusia mengenali kegelisahan dari ketenangan,
Dengan kesadaranlah manusia membedakan kelemahan dari kuatnya kepedulian,
Dengan kesadaranlah manusia mengetahui kepura-puraan dari kesungguhan,
Dengan kesadaranlah manusia mengenali kekurangan dari kesempurnaan,
Dengan kesadaranlah manusia membedakan tanggung jawab dari kebodohan,
Dengan kesadaranlah manusia membedakan kejujuran dari kebohongan,
Dengan kesadaranlah manusia membedakan kebaikan dari keburukan,

Dalam kesadaranlah ukuran-ukuran berada,
Sebagai suatu kepastian acuan,
Akan tetapi manusia hendak membuat kedustaan besar kepada kesadaran,
Sekaligus memaksa kesadaran untuk menjadi budak dari prasangka,
Dengan mengklaim apa yang didapat adalah kepastian, padahal nyatanya adalah ketidakpastian,
Dengan mengatakan apa yang dicapai adalah kekuatan, padahal nyatanya adalah kelemahan,
Dengan menyatakan telah mencapai tujuan, padahal nyatanya sedang menghadapi pertanyaan-pertanyaan,
Lalu menggunakan kedustaan-kedustaan itu sebagai dasar hidup dan kehidupan,
Oh, betapa merananya kesadaran itu menjalankan roda-roda hidup,
Kemuliaannya telah terbungkam oleh kebohongan,
Kesaksiannya atas nilai-nilai telah dihinakan,
Maka nilai-nilai lah yang jadi saksi bisu dari penghinaan itu.

Maka ketika hukum sebab akibat berada dalam alam penggenapan,
Energi kesadaran itu akan menuntut balik,
Dengan menimpakan segala ukuran keburukan yang kemudian menjadi nyata,
Kepada tuannya,
Karena saat itulah alam kedua berkuasa penuh kepada manusia,
Atas izin Tuhannya.

Tentang Kesadaran (3 - habis)

Sesuai dengan keberadaannya yang pasti, kesadaran menuntut kepastian.
Tetapi itu tak bisa dijawab oleh akal manusia. Karena akal manusia tak bisa memberikan produk atau hasil yang pasti. Berbagai kemajuan yang telah dicapai, berbagai teknologi yang telah ada, nyatanya tak juga memberikan jawaban yang memuaskan bagi kesadaran. Berbagai kemajuan itu ternyata hanyalah menambah gulungan spiral pertanyaan. Semakin besar dan semakin besar saja spiral itu. Tak ada jawaban yang menjadi penutup kurva spiral itu.


Siapakah aku? Kenapa aku ada? Bagaimana nanti? Kenapa ada ketidak adilan? Selamanya akal diserang rentetan pertanyaan paling mendasar. Padahal hidup harus berjalan dengan ketenangan, dalam mengarungi berbagai problema. Dan ketenangan itu hanya bisa dicapai manakala kesadaran mendapatkan jawaban yang pasti.


Seharusnya akal manusia tak perlu melontarkan kebohongan terhadap kesadaran dengan mengatakan:
“Pengetahuanku ini pasti! Hidup ini hanya sekali! Mati sekali untuk selamanya!”
“Akhirat itu tak ada! Tuhan itu pasti tak ada! Jadi ayo lanjutkan hidup bebas tanpa Tuhan!” 

Sedangkan pada kesadaran itu tak pernah sekalipun disajikan bukti atas kematian yang selamanya, karena jelas-jelas manusia tak sedang berada di ujung waktu. Nenek moyang memang tak ada yang bangkit lagi, tetapi kesimpulan itu hanya berlaku pada saat-saat sekarang saja. Nyatanya waktu mungkin akan terus bergulir hingga milyaran tahun lagi, apapun bisa terjadi dalam jangka waktu selama itu.

Karenanya, kesadaran akan menjawab balik:
“Manusia telah berbohong! Boleh jadi hidup ini lebih dari sekali! Dan jikalau benar hidup lebih dari sekali, bagaimana dengan hidup selanjutnya?”
Pertanyaan itu, dan pertanyaan yang lain terus menggema dalam perjalanan hidupnya.


Maka bagaimanakah untuk mengatasi kesadaran itu..?
Kejujuran!
Kejujuranlah jalan yang mendamaikan antara manusia dengan kesadarannya. Kejujuranlah yang mempertemukan manusia dengan kesadarannya. Kejujuran mungkin tak menyelesaikan persoalan di luar, tapi setidaknya dalam diri telah ada sikap menghargai. Seakan manusia berkata dengan kesadarannya:
“Ya, saya akui, saya memang tak mampu memenuhi permintaanmu.”
Nah!
Tak dinyana! Itulah jawaban terhadap spiral pertanyaan yang selama ini dilontarkan dalam kesadaran! Itulah penutup kurva yang selama ini dicari-cari! Memanglah manusia itu lemah. Itulah kepastian yang dibutuhkan oleh kesadaran!


Lantas? Bagaimana dengan persoalan di luar? Adakah solusinya?
Tak ada jawaban! Hanyalah kepasrahan!
Pasrah sebagai konsekuensi dari kejujuran. Pasrah dengan kelemahan dan keterbatasan! Pasrah dengan apapun yang terjadi nanti! Karena memang tak ada yang bisa dipastikan tentang keadaan di masa depan. Alam dan lingkungan benar-benar tak bisa diperkirakan. Apakah besok mati, apakah besok akan kehilangan sesuatu, apakah besok akan bahagia? Sengsara? Sukses?
Pasrah!
Pasrah dari segala akibat. Pasrah dengan potensi diri. Pasrah dengan usaha yang tak tahu hasilnya. Pasrah menanggung kenyataan. Pasrah menanggung penderitaan.


Tetapi cobalah kita lihat! Hukum kehidupan seakan berbalik akibat dari kepasrahan.
Banyak sekali kepasrahan yang justru menolong.
Milyaran bayi yang di dunia ini hanya bisa menangis dan berpasrah, ternyata banyak yang terus hidup tanpa disadarinya.
Begitu juga dalam dunia satwa. Kepasrahan menghadapi ganasnya pemangsa seringkali justru menyelamatkan.


Kepasrahan adalah titik tolak yang luar biasa. Banyak manusia mencapai keberhasilan setelah pasrah dengan keterpurukan. Kepasrahan untuk tak meratapi keadaan. Menjadi energi yang luar biasa untuk bangkit .
Bagaimana pula apabila kepasrahan tak juga menolong?
Tetap berpasrah!
Nyatanya memang hanya itu yang bisa dilakukan. Bersiap dengan segala keadaan. Dan lihatlah sekali lagi! Kepasrahan itu nantinya akan mengurangi rasa sengsara.


Para Nabi adalah teladan yang sempurna tentang kepasrahan manusia. Maka dari itulah Tuhan memberikannya titik balik yang dahsyat bagi kehidupan! Cahaya kehidupan yang terang benderang!
Segala rahasia hidup terbuka lebar, memberikan kebahagiaan tiada tara bagi kesadaran! Terjadilah resonansi antara kesadaran dengan kehidupan! Sungguh dahsyat!
Ritual, dogma, pengorbanan, kesemuanya mencerminkan kepasrahan manusia secara nyata!


Kejujuran tentang ketidaktahuan manusia kini termanifestasikan secara lugas dengan ritual, dogma dan pengorbanan itu. Kejujuran kini tidak sekedar kalimat penghibur. Kepasrahan tidak sekedar gambar penyejuk mata.
Kejujuran dan kepasrahan menjadi nyata! Ya, nyata ketika diri yang merasa bodoh itu tetap menjalankan hal-hal yang tak sepenuhnya dimengerti, atas dasar kepercayaan kepada para Nabi yang sempurna dalam kepasrahannya. Atas nama Tuhan yang Maha Mengetahui segala misteri.
Dan lihatlah.. rasakanlah.. betapa ritual, dogma, dan pengorbanan itu memberikan titik balik yang hebat. Keberanian, kemantapan, kesungguhan, ketangguhan, kesabaran berakar dan bertumbuh kuat dalam diri. Memberi energi hidup tanpa henti. Keselamatan kebahagiaan yang mengatasi keadaan, melampaui kematian.
Itulah, Kejujuran dan Kepasrahan!

Dan di akhirat nanti, boleh jadi kesempurnaan dan keberuntungan kan terwujud atas restu Sang Pengajar, Pemilik Kehidupan dan Kesadaran.


Kini, siapakah aku? Siapakah kita?
Beranikah berdamai dengan kesadaran ?
Entahlah :(

Wallahu a’lam

Jejak yang Abadi - tentang akhirat (1)

Tepuklah air di bak kamar mandi dengan tangan. Air bergelombang bukan? Tinggalkan 1 jam, lalu lihat lagi, pasti gelombangnya hilang, atau pelan sekali. Apakah itu berarti jejak tepukan tangan hilang?
Tidak!

Jejak itu sebenarnya telah berkonversi menjadi energi air dalam bentuk gelombang tertentu. Dan gelombang itu menimpa udara di sekelilingnya, menimpa dinding bak,dan mungkin mempengaruhi gelombang-gelombang yang lain. Dinding bak akan mempengaruhi udara di balik dinding juga, udara akan bergerak sedemikian rupa dan pasti tertentu.

Terus menerus energi-energi itu akan berantai mengembara sesuai hukum alam. Sampai suatu saat nanti bumi dan matahari ditelan black hole pun, pada saat itupun bumi akan berbentuk sedemikian rupa yang membawa bukti-bukti jejak makhluk. Dalam skala yang luar biasa kecil, pasti akan tetap ada, di black hole sekalipun.
Lalu, apakah black hole itu kekal?

Since nothing can escape from the gravitational force of a black hole, it was long thought that black holes are impossible to destroy. But we now know that black holes actually evaporate, slowly returning their energy to the Universe. The well-known physicist and author Stephen Hawking proved this in 1974 by using the laws of quantum mechanics to study the region close to a black hole horizon. ( http://hubblesite.org/explore_astronomy/black_holes/encyc_mod3_q10.html )

Ternyata black hole memancarkan kembali gelombang-gelombang energi ke alam raya.

Image illustrating: Do black holes live forever?

Quantum mechanics dictates that matter on the smallest scales often behaves more like waves than like particles. Much modern technology relies on this
-----

Bagaimanakah keadaan jejak-jejak itu nanti? Bagaimana pula keadaan jejak material manusia setelah dilumat gaya inti black hole, dan kemudian mengembalikan lagi energinya ke alam raya?

-----
We cannot glimpse what lies inside the event horizon of a black hole because light or material from there can never reach us. Even if we could send an explorer into the black hole, she could never communicate back to us.


Current theories predict that all the matter in a black hole is piled up in a single point at the center, but we do not understand how this central singularity works. To properly understand the black hole center requires a fusion of the theory of gravity with the theory that describes the behavior of matter on the smallest scales, called quantum mechanics. This unifying theory has already been given a name, quantum gravity, but how it works is still unknown. This is one of the most important unsolved problems in physics. Studies of black holes may one day provide the key to unlock this mystery.


Einstein’s theory of general relativity allows unusual characteristics for black holes. For example, the central singularity might form a bridge to another Universe. This is similar to a so-called wormhole (a mysterious solution of Einstein’s equations that has no event horizon). Bridges and wormholes might allow travel to other Universes or even time travel. But without observational and experimental data, this is mostly speculation. We do not know whether bridges or wormholes exist in the Universe, or could even have formed in principle. By contrast, black holes have been observed to exist and we understand how they form.
( http://hubblesite.org/explore_astronomy/black_holes/encyc_mod3_q4.html )

image : http://hubblesite.org/explore_astronomy/black_holes/encyc_mod3_q10.html

Siapa Menjamin Tak Ada Hari Kebangkitan? - tentang akhirat (2)

Melanjutkan artikel sebelumnya “Jejak itu Sementara?”, di sini saya mengajukan pertanyaan sebagaimana judul kepada siapa saja yang berminat, utamanya kaum yang tidak percaya kepada hukum Tuhan dan akhirat :

Apabila kita percaya penuh dengan ketertataan semesta, apakah keadaan manusia sekarang ini berasal dari suatu kebetulan? Tentunya tidak, bukan?
Tak perduli awal kejadian manusia itu lantaran evolusi ataukah reaksi kejutan energi terhadap materi pembentuk, atau apapun teorinya, pastilah kita percaya bahwa semua itu adalah produk ketertataan semesta yang berdasar sebab akibat.

Apapun itu bentukan energi+materi yang terjadi saat ini (akibat), semuanya adalah produk dari bentukan energi+materi di masa lalu (sebab). Lebih detail, maka otak, mata, syaraf-syaraf yang kita miliki sekarang ini adalah akibat dari keadaan semesta di masa lalu, termasuk ketika kehidupan makhluk hidup belum ada di bumi.
Dikarenakan suatu kejadian sebab-akibat itu tertata sempurna, maka suatu keniscayaan apabila runutan “sebab lalu akibat” dapat berlaku terbalik menjadi “akibat lalu sebab“, walaupun mungkin hanya ada di ranah imajiner.

—-
Sy ilustrasikan:
Kalau kita menggelindingkan bola voli dari lantai titik A ke titik B, maka kita bisa melakukan kebalikannya, yaitu menggelindingkan bola voli dari B ke A.
Kalau suatu spon bola lentur sempurna berdiameter 20 cm kita remas sehingga menjadi berdiameter 1 cm, maka kita bisa melakukan kebalikannya yaitu melepaskan remasan sehingga diameter spon mengembang dari 1 cm menjadi 20 cm.
—-

Kembali ke alam nyata, kita bisa bayangkan bagaimanakah bentuk energi-materi pada tata surya dan sekitarnya ketika suatu saat nanti hampir tertelan black hole? Pasti akan memiliki bentuk energi-materi tertentu yang sangat-sangat spesifik sebagai produk masa lalunya termasuk ketika berpadu dengan sejarah manusia.

Kemudian masuklah ia ke black hole, di mana di sana haruslah tetap masih mengandung hukum keteraturan, tak perduli seberapapun cepat putarannya, seberapapun kuat energinya dan seberapapun padat massanya. Maka bumi akan terlumat dengan se ekstrim-ekstrimnya hingga level sub-atom, pun energinya akan berpadu sedemikian rupa.

Yang menjadi hal terpenting adalah, black hole itu berdasar pendapat dan pengamatan ilmuan (termasuk einstein dan hawking), tidaklah terus menerus memadat. Akan tiba suatu keadaan di mana black hole itu memancarkan (membuang) energinya keluar, yaitu ke alam raya.

Apakah pembuangan energi itu berbentuk acak? Tidak kan? Pasti menurut perhitungan sebab akibat yang juga teratur. Tak perduli apakah pembuangan itu berupa ledakan-ledakan dahsyat, tetaplah ledakan itu terjadi secara spesifik. Ilmuan memang tak tahu seperti apa bentuk pengeluaran energi dari suatu black hole, hanya sekedar kira-kira. Einstein memperkirakan black hole itu adalah penghubung antara semesta yang ada dengan semesta yang lain. Sedangkan Hawking berpendapat bahwa blackhole itu mengeluarkan energi ke alam raya ini. ( *Terkait ini silahkan baca artikel “Jejak itu Sementara?” )

Maka, jikalau benar bahwa black hole itu memancarkan energinya kembali ke alam, apakah kita bisa “mengabaikan” peristiwa yang terjadi akibat dari itu?
Bagaimana mungkin mengabaikan, sedangkan kita mengaku percaya penuh pada hukum keteraturan?

Apakah tak layak kita berpikir bahwa hal itu semacam kejadian pemantulan tata surya sekaligus pemuaian setelah pemadatannya?
Sebagaimana proses memuainya spon busa setelah peremasannya?
Dan yang terjadi nantinya adalah pembentukan tata surya secara terbalik?
Lebih lanjut, terjadinya pembalikan sejarah umat manusia, di mana penghuni kubur yang telah terurai, abu-abu pembakaran manusia yang telah tersebar di samudera itu akan bersatu kembali mewujud menjadi manusia-manusia yang hidup kembali?

Bagaimanakah seharusnya, apakah kita heran dengan terulangnya lagi kehidupan kedua dari material-material tak hidup, sedangkan kita telah percaya bahwa kehidupan yang berjalan sekarang ini berawal dari alam yang tak hidup? Apakah tetap berpegang teguh pada hukum keteraturan?

Maka,
Siapakah yang bisa menjamin secara empiris kalau aku tak akan bangkit lagi pada suatu masa setelah black hole itu memancarkan energi tata surya yang pernah jatuh ke dalamnya?
Bagaimana pula seandainya black hole itu menghadiahkan kejutan-kejutan peristiwa yang lain lagi akibat kekuatan dahsyatnya? Apakah kita nanti akan terkaget-kaget dengannya?
Dan bagaimana pula seandainya detak-detak energi yang terpancar dari jantung dan syaraf-syaraf tubuh ini turut masuk dan keluar dari black hole itu, di mana dendam, kesombongan, kebohongan akan terbongkar?

Ah, baiknya memang tak usah terlalu jauh.


TAPI SIAPA YANG BISA MENJAMIN KALAU AKU TAK AKAN BANGKIT LAGI SETELAH KEMATIANKU NANTI …… ??

Di Manakah Kiamat Berada? - tentang akhirat (3-habis)

Ini tentang keyakinan,
Di mana mata seakan tertuju padanya.
Maka mohon maaf bagi yang tidak dalam keyakinan yang sama, baik yang muslim maupun yang bukan.

Bismillahirrohmaanirrohiim,
Kiamat adalah bagian dari perjalanan semesta kepada Tuhannya sejak pertama kali diciptakan,
Al Fushilat:11
Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”.

 
Dalam perjalanan itu, Tuhan menjaga semesta agar tidak lenyap. Ruang dibentangkan sehingga gaya gravitasi tak membuat galaksi-galaksi saling merapat. Hal ini agar semesta dapat menyelesaikan tugasnya memunculkan kehidupan makhluk yang berkesadaran (manusia). Gravitasi terlawan oleh anti gravitasi, sehingga ruang melebar dengan percepatan.
Faathir:41
Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorangpun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.

 
Dan galaksi-galaksi itu pada akhir umurnya akan bermigrasi ke bentuk partikel (alam) yang lain. Dengan diawali terbentuknya black holes yang merupakan pintu-pintu masuk dari dunia materi yang ada sekarang ke dunia materi baru. 
Al Haaqqah:16
dan terbelahlah langit, karena pada hari itu langit menjadi lemah.

 
Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Black_hole

Selanjutnya benda-benda akan tersedot masuk ke black holes itu. Keadaan benda langit (termasuk bumi) memasuki black holes itu lah yang dinamakan sebagai awal terjadinya Kiamat. 
Pada saat benda langit itu memasuki zona terluar black holes, kecepatan bumi meningkat dengan sangat cepat, sehingga terdengarlah suara menggelegar dari langit seakan memasuki terowongan ruang-waktu. 
An Naml:87
Dan (ingatlah) hari (ketika) ditiup sangkakala, maka terkejutlah segala yang di langit dan segala yang di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Dan semua mereka datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri.

 
Bumi, planet, matahari dan bintang-bintang berjatuhan ke black holes itu
At Takwiir:1 – 2
Apabila matahari digulung,
dan apabila bintang-bintang berjatuhan,
Dalam black holes itu, semuanya bercampur menjadi satu,
Hingga saatnya tiba, mereka akan keluar dari black holes menuju alam partikel yang baru. Keluarnya pun dengan kecepatan yang luar biasa, dan menimbulkan suara gemuruh luar biasa seakan hendak keluar dari terowongan ruang-waktu lagi.
Al Kahfi:99
Kami biarkan mereka di hari itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain, kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka itu semuanya,

 
Dan seterusnya, tidak (belum) ada bukti akhirat yang dapat dieksplorasi manusia lagi, dikarenakan sifat partikel yang berbeda dari yang ada di dunia sekarang. 
Sedangkan dunia galaksi yang ada sekarang ini, pada masanya akan lenyap total, karena semuanya berduyun-duyun mengalami kiamat, yaitu bermigrasi ke alam akhirat. Saat ini dunia galaksi (yang dapat diamati) hanyalah tinggal sebesar 4,6% dari keseluruhan himpunan massa dan energi semesta. Karena sebagian besar telah berpindah ke “alam gelap”.

“Hasil ekperimen dari WMAP pada tahun 2008 yang menggabungkan data dari radiasi latar belakang dan sumber data lainnya menunjukkan bahwa rapatan massa/energi alam semesta utamanya terdiri dari 73% energi gelap, 23% materi gelap, 4,6% materi biasa, dan kurang dari 1%-nya neutrino.[32] Rapatan energi dalam materi menurun seiring dengan mengembangnya alam semesta, tetapi rapatan energi gelap tetap (hampir) konstan. Oleh karenanya, materi mendominasi keseluruhan energi total alam semesta pada masa lalunya. Persentase ini akan menurun pada masa depan seiring dengan semakin dominannya energi gelap.”
sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Dentuman_Besar
———–

Sementara itu, manusia meyakini bahwa hukum kekekalan massa- energi berlaku pada hampir semua pengamatan. Karena itulah, kita dapat meyakini pula bahwa segala yang terjadi di dunia ini hanyalah semacam perubahan kombinasi dari materi-energi. Laksana kotak kubik saja.
 
Akhir dari kombinasi itu adalah kumpulan jejak perilaku materi-energi sejak dari awalnya. Kumpulan jejak perilaku manusia. Kumpulan jejak pembentukan manusia. Semuanya tercatat, seperti catatan aktivitas yang ditemui di dunia komputer :
Sumber: dok pribadi
Kombinasi itu akan berlanjut ke alam kedua, diawali dengan pancaran-pancaran dari black holes. Maka segala zat-zat yang telah terurai dari seorang manusia, kelak akan dapat disusun lagi karena semua catatan telah sangat jelas dalam penglihatan Tuhan.
Tuhan yang telah mampu menciptakan seorang manusia di alam pertama, tentunya mampu untuk membangkitkan ciptaannya itu di alam kedua.
Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/File:BlackHole.jpg
Al Haaqqah:18
Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah).
Qaaf:20-22
Dan ditiuplah sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman.
Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengan dia seorang malaikat penggiring dan seorang malaikat penyaksi.
Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.
Lantas, kenapa terjadinya Kiamat begitu lama, hingga bermilyar tahun lagi bumi tertelan black holes di pusat galaksi Bimasakti ? Black holes tidak hanya ada di pusat galaksi, tapi black holes juga ada yang lebih dekat.
Bagaimanapun, kiamat sangatlah dekat, sedekat sisa umur kita masing-masing. Karena nyatanya kita juga tak menunggu lama untuk terlahir di bumi sejak bumi ada bermilyar tahun yang lalu. Sehingga kita pun tak akan merasa menunggu lama saat kita dibangkitkan lagi.

Ar Ruum:56
Dan berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir): “Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit; maka inilah hari berbangkit itu akan tetapi kamu selalu tidak meyakini(nya)”.

An Naazi’at:46
Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.

Yaa Siin:52
Mereka berkata: “Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat-tidur kami (kubur)?”. Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-rasul(Nya).

———–

Wallahu a’lam