Sejak awal
keberadaannya, semesta adalah suatu ke-khas-an yang sudah ditentukan.
Lalu ke-khas-an itu bereaksi dalam dirinya sendiri, dengan reaksi yang
khas (ter-tentu) pula. Jadilah ia berubah wujud. Hanya berubah susunan,
bukan perkembangan ataupun pertumbuhan (penambahan). Perubahan susunan
itu alami begitu saja mengikuti reaksi dalam dirinya sendiri. Ada
pengelompokan, ada pemisahan sehingga terjadilah berbagai bentuk
kombinasi materi-energi. Terjadilah berbagai perwujudan. Semua
materi-energi berlaku reaksi yang sama dan konsisten.
Sampai pada fase
tertentu, kombinasi itu itu mewujudkan kehidupan di dalamnya. Dalam
bentuk sel, tanaman, hingga manusia. Dengan adanya kehidupan, semesta
ini dapat merasakan dirinya sendiri. Setidaknya melalui susunan tubuh
manusia yang bisa kita ketahui bersama. Seiring perjalanan kehidupan,
terjadilah penambahan nilai bagi rasa, seperti rasa nyaman dan
kesenangan. Itu karena akal manusia berfungsi sebagai alat pantul
semesta. Berbagai informasi masuk ke akal manusia dan kemudian terpancar
melalui aktifitasnya. Aktifitas yang memunculkan berbagai aspek
pengetahuan dan teknologi yang memudahkan.
Dalam penambahan nilai
bagi rasa ini, tak bisa dilepaskan oleh peran semua makhluk hidup di
luar manusia. Mereka semua setiap saat bekerja merubah susunan materi
dan energi menjadi manfaat lebih. Sekalipun ketika alam dirusak oleh
manusia, mereka tetap bekerja walaupun sebagian pekerjaan mereka kadang
menjadi kontra produktif bagi manusia. Misalnya sekelompok tomcat yang
masuk ke permukiman dan melukai manusia, karena habitat tomcat yang
dirusak oleh manusia. Tomcat terus bekerja bagi kehidupan, namun ia
menjadi kehilangan arah dalam pekerjaannya itu akibat ketidak seimbangan
ekosistem.
Rasa yang ada dalam
kehidupan, hanya dapat menyaksikan dan merasakan, tak dapat ia memilih
sikap. Apa yang dinamakan kehendak, pada dasarnya hanya rasa (efek),
bukan sesuatu yang mandiri/ bebas. Apa yang dirasakan individu saat
memilih, pada dasarnya adalah efek kalkulasi reaksi pantulan semesta
yang terjadi dalam ranah materi-energi.
—-
Dari uraian di atas, kehidupan apabila ditilik dari
sudut pandang ilmiah, adalah suatu reaksi materi-energi yang bisa
diformulasikan walaupun mungkin tidak akan pernah sempurna.
Apakah itu berarti bahwa kehidupan hanya memiliki hukum materi-energi? Pada tingkatan dasar, iya.
Tetapi pada tingkat yang lebih tinggi, kehidupan
memiliki hukum yang lain, yaitu hukum baik-jahat. Hukum baik-jahat tidak
di level yang sama dengan hukum materi-energi, sehingga
masing-masingnya dapat berjalan secara mandiri. Yang satu tidak akan
mengganggu yang lain.
Keberadaan hukum baik-jahat ini karena ke-khas-an
semesta dalam reaksinya memiliki sebaran pola (skenario) yang khas pula.
Perjalanan paralel dari semesta sebaran skenario itu memiliki benang
merah yang mencerminkan konstruksi hukum baik-jahat. Kebaikan menuai
kebaikan. Kejahatan menuai keburukan.Secara langsung maupun tidak
langsung sesuai kalkulasi tertentu. Dalam satu kehidupan maupun lintas
kehidupan.
Kitab suci menerangkan formula dari semesta
skenario, sebagai informasi verbal (software) yang melengkapi informasi
empiris semesta (hardware) yang diterima. Kitab suci memberikan kerangka
acuan yang memungkinkan kemanfaatan hidup bergerak terarah naik.
Kitab suci banyak menerangkan bagaimana kaum dzolim
kemudian tertimpa azab akibat kedzolimannya itu, misalnya gempa bumi.
Apabila ditilik dari metode ilmiah, jelas tidak akan ditemukan
sebab-akibatnya. Tetapi penjelasannya adalah : semesta skenario
tersambung antara skenario manusia yang dzolim dengan pergerakan dalam
inti bumi. Kejadiannya akan tepat berunutan. Namun perlu diperhatikan
juga bahwa tidak semua bencana diartikan azab. Azab ataupun musibah,
akan diartikan sesuai alur dari tiap individu yang spesifik.