Selamat datang.. Hingar bingar di sekeliling mari diambil hikmahnya, karena keadaan masyarakat akan berubah bila diri kita berubah. Salam hangat!

Tuesday, September 10, 2013

Takdir Semesta ? (makna hidup)

Sejak awal keberadaannya, semesta adalah suatu ke-khas-an yang sudah ditentukan. Lalu ke-khas-an itu bereaksi dalam dirinya sendiri, dengan reaksi yang khas (ter-tentu) pula. Jadilah ia berubah wujud. Hanya berubah susunan, bukan perkembangan ataupun pertumbuhan (penambahan). Perubahan susunan itu alami begitu saja mengikuti reaksi dalam dirinya sendiri. Ada pengelompokan, ada pemisahan sehingga terjadilah berbagai bentuk kombinasi materi-energi. Terjadilah berbagai perwujudan. Semua materi-energi berlaku reaksi yang sama dan konsisten.

Sampai pada fase tertentu, kombinasi itu itu mewujudkan kehidupan di dalamnya. Dalam bentuk sel, tanaman, hingga manusia. Dengan adanya kehidupan, semesta ini dapat merasakan dirinya sendiri. Setidaknya melalui susunan tubuh manusia yang bisa kita ketahui bersama. Seiring perjalanan kehidupan, terjadilah penambahan nilai bagi rasa, seperti rasa nyaman dan kesenangan. Itu karena akal manusia berfungsi sebagai alat pantul semesta. Berbagai informasi masuk ke akal manusia dan kemudian terpancar melalui aktifitasnya. Aktifitas yang memunculkan berbagai aspek pengetahuan dan teknologi yang memudahkan.

Dalam penambahan nilai bagi rasa ini, tak bisa dilepaskan oleh peran semua makhluk hidup di luar manusia. Mereka semua setiap saat bekerja merubah susunan materi dan energi menjadi manfaat lebih. Sekalipun ketika alam dirusak oleh manusia, mereka tetap bekerja walaupun sebagian pekerjaan mereka kadang menjadi kontra produktif bagi manusia. Misalnya sekelompok tomcat yang masuk ke permukiman dan melukai manusia, karena habitat tomcat yang dirusak oleh manusia. Tomcat terus bekerja bagi kehidupan, namun ia menjadi kehilangan arah dalam pekerjaannya itu akibat ketidak seimbangan ekosistem.

Rasa yang ada dalam kehidupan, hanya dapat menyaksikan dan merasakan, tak dapat ia memilih sikap. Apa yang dinamakan kehendak, pada dasarnya hanya rasa (efek), bukan sesuatu yang mandiri/ bebas. Apa yang dirasakan individu saat memilih, pada dasarnya adalah efek kalkulasi reaksi pantulan semesta yang terjadi dalam ranah materi-energi.

—-

Dari uraian di atas, kehidupan apabila ditilik dari sudut pandang ilmiah, adalah suatu reaksi materi-energi yang bisa diformulasikan walaupun mungkin tidak akan pernah sempurna.
Apakah itu berarti bahwa kehidupan hanya memiliki hukum materi-energi? Pada tingkatan dasar, iya.
Tetapi pada tingkat yang lebih tinggi, kehidupan memiliki hukum yang lain, yaitu hukum baik-jahat. Hukum baik-jahat tidak di level yang sama dengan hukum materi-energi, sehingga masing-masingnya dapat berjalan secara mandiri. Yang satu tidak akan mengganggu yang lain.

Keberadaan hukum baik-jahat ini karena ke-khas-an semesta dalam reaksinya memiliki sebaran pola (skenario) yang khas pula. Perjalanan paralel dari semesta sebaran skenario itu memiliki benang merah yang mencerminkan konstruksi hukum baik-jahat. Kebaikan menuai kebaikan. Kejahatan menuai keburukan.Secara langsung maupun tidak langsung sesuai kalkulasi tertentu. Dalam satu kehidupan maupun lintas kehidupan.

Kitab suci menerangkan formula dari semesta skenario, sebagai informasi verbal (software) yang melengkapi informasi empiris semesta (hardware) yang diterima. Kitab suci memberikan kerangka acuan yang memungkinkan kemanfaatan hidup bergerak terarah naik.

Kitab suci banyak menerangkan bagaimana kaum dzolim kemudian tertimpa azab akibat kedzolimannya itu, misalnya gempa bumi. Apabila ditilik dari metode ilmiah, jelas tidak akan ditemukan sebab-akibatnya. Tetapi penjelasannya adalah : semesta skenario tersambung antara skenario manusia yang dzolim dengan pergerakan dalam inti bumi. Kejadiannya akan tepat berunutan. Namun perlu diperhatikan juga bahwa tidak semua bencana diartikan azab. Azab ataupun musibah, akan diartikan sesuai alur dari tiap individu yang spesifik.

Problem Kebenaran ?

Kebenaran bukan sesuatu yang rumit. Kebenaran adalah perubahan. Karenanya diperlukan batin yang selalu tenang untuk menghadapinya, maka hidup pun bahagia. Ketenangan batin itulah kebahagiaan. Batin yang memandang perubahan sebagai sesuatu yang wajar.

Apabila sekarang hidup besok mati, pantes.
Sekarang enak nanti bosen, wajar.
Sekarang merasakan pahit besoknya dapat yang manis, wajar juga.
Sekarang kesakitan nanti nyaman, ok.
Sekarang dipuja besok dimaki, biasa.
Sekarang kepanasan lanjut kedinginan, kenapa tidak?
Sekarang having fun besok kena bencana, bisa saja.
Sekarang gagal tahun depan sukses, maklum.
Sekarang berusaha keras tapi tak berhasil, lain waktu diam saja malah dapat hasil, ya begitulah.

Segala keadaan, tak akan diterima sebagai kesengsaraan manakala batin selalu merasa tenang.
Tetapi apakah semudah itu mengkondisikan batin untuk tenang?
Itulah problem umat manusia, dari dulu hingga kini.

Semakin bertambah pengetahuan, semakin bervariasi bentuk perubahan di muka bumi.
Maka agama hadir untuk mengkondisikan batin manusia agar selalu tenang menatap perubahan.
Bagaimana yang tak percaya pada agama?

Ya tentu dipersilahkan untuk mencari-cari sendiri caranya. Dan, bahagia atau tidak bahagia pun adalah hak tiap individu.

Apakah 'Ruang' itu? Apakah 'Kosong' itu ?

Adalah istilah imajiner (bayangan) yang gunanya membantu pikiran ketika berbicara tentang suatu keadaan ter’tentu’.
Ruang dalam arti materi sesungguhnya tak ada. Tulisan ini salah satunya dimaksudkan agar kita tidak terkecoh tentang konsep ADA.

Misalkan berbicara tentang atom, akan terbayangkan ruang atom. Misal berbicara tentang perangkat meja makan yang dipakai untuk makan, akan terbayangkan ruang makan. Berbicara tentang sekelompok perangkat yang dipakai untuk menerima tamu, akan terbayangkan ruang tamu.

Ruang yang di situ-situ saja bisa memiliki makna yang berbeda di waktu yang berbeda. Misal ruang makan bisa dirubah menjadi ruang tamu apabila perangkat meja makannya disingkirkan dan diganti perangkat meja tamu. Ruang rekreasi yang menyenangkan bisa berubah menjadi ruang penjara yang menyengsarakan bila di tempat rekreasi itu kemudian dibangun penjara. Ruang pemandangan alam yang indah bisa berubah jadi ruang bencana alam yang mengerikan apabila alam di situ mengalami bencana dahsyat.

Lebih dari itu, ruang yang di situ-situ saja juga bisa memiliki makna yang lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan.
Misal sebuah ember yang terdiri dari bongkahan es yang sebagian telah mencair, maka di situ setidaknya terdapat ruang air, ruang udara, dan ruang es.
 
Lebih jauh lagi, keadaan di sekitar kita juga sebenarnya adalah ruang yang multi makna sekaligus, yang terdiri dari :
-       - Ruang udara,
-       - Ruang bakteri,
-       - Ruang gelombang pesawat radio,
-       - Ruang gelombang pesawat televisi,
-       - Ruang gelombang telekomunikasi seluler,
-       - Ruang magnet, dll

Apabila ada banyak ruang, berarti ada ‘batas’ antar ruang. Bahkan ada ‘jarak’ antar ruang. Tentu saja konsep ‘batas’ dan ‘jarak’ ini tidak selalu berwujud dalam satuan panjang. ‘Batas’ atau ‘jarak’ bisa berupa hal-hal lain tergantung keadaan yang sedang diamati.

Misal, ‘batas’ antara ruang es, ruang air dan ruang uap air, adalah pada suhunya.
Berdasarkan ilustrasi yang sederhana di atas, dapatlah dijadikan acuan dalam memahami lingkup yang lebih luas, tentang konsep semesta ini.

Semesta yang terletak antara bigbang dan blackhole, adalah suatu keadaan tertentu. Keadaan tertentu itu dapat teramati oleh sains yang menjadi bagian dari keadaan itu sendiri. Sebelum ‘keluar’ melalui big bang dan setelah ‘terhisap’ oleh blackhole, keadaan tertentu yang kita pahami ini adalah suatu keadaan tertentu yang lain.

Ruangan keadaan tertentu yang lain, adalah di sini-sini juga, hanya kita tak dapat menjangkau itu karena sifatnya yang berbeda dengan sifat sains. Hal itu identik dengan keberadaan ruang air di antara bongkahan es yang bergerak mencair.

Berapa macam dan berapa banyakkah keadaan tertentu yang lain itu? Jelas kita tidak akan tahu.
Yang jelas adalah bahwa kita tidak bisa menyatakan bahwa awang-awang (yang terlihat kosong) ini adalah hampa mutlak. Tetapi di balik kekosongan itu sesungguhnya ada berbagai keadaan tertentu yang mungkin sekali memiliki otoritasnya sendiri (mandiri).

Iman, Keterkungkungan Manusia, dan Kekuasaan Tuhan

Memang demikianlah. Kalaupun seseorang mengaku bertuhan, tuhan itu tak lain adalah persepsinya sendiri. Persepsi itu bergerak-gerak. Bisa naik, juga turun. Pemahaman yang semakin mendalam lazimnya akan membawa persepsi yang beranjak naik. Sebaliknya pemahaman yang menyempit akan menurunkan persepsi tentang Tuhan.

Persepsi seseorang yang sudah tinggi, tetap saja tak akan menjangkauNYA. Maka dia akan mencoba lagi menaikkan persepsi itu, begitu seterusnya manusia berjuang mendekati Tuhan. Perjuangan menaikkan persepsi itulah yang punya makna bagi orang tersebut, bukan pencapaian kepada Tuhan.
Maka sekali lagi, betapapun manusia berusaha, tak akan dia mampu menjangkau Tuhan. Akan tetapi hal itu tak berarti bahwa dia telah melakukan sesuatu yang sia-sia. Ketidak mampuan manusia menjangkau Tuhan itupun tidak berarti dia terputus dengan Penciptanya. Tidak sama sekali.

Manusia di belantara keberadaan, laksana ikan yang berenang di dalam aquarium. Ketika lapar, dia hanya dapat bergerak penuh pengharapan di dalam aquarium itu. Ikan tak akan dapat menepukkan siripnya ke sang pemilik. Tetapi pada saat itu, sang pemilik ikan tersenyum melihat polah sang ikan dan ia pun memasukkan makanan bagi si ikan.

Tuhan lah yang akan menjangkau makhlukNYA. DIA kan tahu di antara hambaNYA yang telah berusaha mendekatkan diri kepadaNYA, siapa yang telah berhenti berusaha. Siapa di antara hambaNYA yang telah mengerahkan daya dengan kesungguhan, siapa yang hanya berpura-pura, siapa yang acuh tak acuh. DIA tahu siapa yang telah memelihara kesombongan dalam hatinya, DIA tahu apapun yang terjadi.

Adapun tentang persepsi itu, tidaklah bermanfaat sama sekali bagi Tuhan. Ia hanya akan menjadi kebaikan bagi manusia sebagai tangga-tangga menuju kepadaNYA. Selain daripada itu, persepsi-persepsi yang baik akan membawa hikmah perubahan hidup sehari-hari, paralel terhadap upayanya mengolah berbagai potensi dirinya.

Persepsi tidak berbeda dengan bahasa. Bahasa adalah persepsi tentang berbagai hal. Kata “meja” mewakili obyek meja, meskipun kata “meja” itu tak mampu melukiskan secara tepat wujud meja yang sesungguhnya. Tetapi meskipun tak tepat betul, kata-kata sangat memudahkan manusia. Seseorang tidak perlu selalu memeluk meja untuk mengungkapkannya kepada orang lain. Cukuplah dia mengatakan “meja”, maka orang yang diajak bicara akan mengerti. Dengan bahasa lah manusia membangun berbagai pengetahuan. Dengan bahasa manusia membangun peradaban.

Maka begitu pula persepsi tentang Tuhan yang Maha Suci. Persepsi meskipun tak pernah menjangkau Tuhan, tetapi persepsi itu akan menjadi alat bantu manusia dalam mewujudkan kemuliaan-kemuliaan dalam hidupnya. Cita-cita luhur senantiasa akan tergantung untuk dicapai. Terus menerus cita-cita itu meninggi, dan karenanya terus menerus pula ia akan berusaha meningkatkan kualitas dirinya.

Semesta Muncul dengan Sendirinya?

Pertanyaan yang sederhana saja. Sebagian orang berpendapat bahwa semesta ini tercipta dengan sendirinya. Yaitu big bang muncul dengan sendirinya oleh proses yang terjadi di dalam dirinya sendiri. Nah, kalau memang demikian, kenapa big bang tidak pernah terjadi lagi sejak 13,7 Milyar tahun yang lalu? Dalam kurun waktu yang luar biasa panjang itu, tak pernah muncul lagi peristiwa big bang kedua, big bang ketiga dst di kolong langit ini. Mungkin jawabannya adalah karena tidak ada “syarat” terbentuknya big bang selanjutnya. Apakah harus ada syarat lagi ketika dikatakan bahwa semua terjadi dengan sendirinya?

Pada kenyataannya, big bang hanya terjadi sekali sehingga semesta ini sampailah pada suatu keadaan di mana memunculkan kehidupan di dalamnya. Semesta ini begitu langgengnya, selama belasan Milyar tahun tidak terinterupsi atau terganggu oleh sesuatu yang merusaknya sehingga manusia dapat terbentuk dan berkehidupan di dalamnya. Dan setelah kehidupan terjadi, kelak semesta akan masuk ke dalam black hole, sebagai ujung perjalanan realitas yang dapat ditangkap manusia.

Jadi, perjalanan semesta ini ditilik dari sudut pandang manusia menjadi sesuatu yang tidak biasa. Punya makna alias tidak sia-sia. Tidak asal-asalan, tetapi punya tujuan yang teguh berjangka panjang untuk melahirkan manusia-manusia.

Tetapi lihatlah kemudian, betapa di antara manusia yang terlahir itu ada yang bertindak asal-asalan dengan menyakiti yang lainnya secara semena-mena hanya karena ia merasa lebih kuat, lebih kaya, lebih cerdas?

Apakah mungkin bila skenario umum semesta itu tak memiliki skenario kepada para individu yang telah berbuat sombong itu?

Tanda-tanda ke-Agung-an Tuhan: dulu, kini, dan nanti

Tanda-tanda keagungan Tuhan, tidaklah selesai di “masa lalu” di mana alam pertama kali terlihat (muncul). Semesta alam tidaklah hanya seperti seonggok kursi yang telah selesai dikerjakan dan tak ada kelanjutannya. Tetapi kemaha-kreativitasanNya adalah mengadakan wujud alam, proses, serta alur maknanya sekaligus dalam “penciptaan” itu. Sehingga “perbuatan”Nya masih terus berlangsung pada saat ini dan seterusnya. Hal ini kiranya dapat digunakan sebagai jalan pendukung untuk mengenali eksistensiNya. Bahwa Dia senantiasa “hidup”.
 
Perjalanan semesta sebenarnya tidaklah bodoh-bisu-tuli. Memang, masing-masing kejadian bergulir secara otomatis, di mana bagian per bagian dapat dijelaskan prosesnya (secara terbatas) oleh sains. Dalam lingkup terbatas penelitian, kejadian dapat diprediksi hasil (akibat) nya. Hal tersebut menandakan bahwa manusia memiliki kekuasaan terhadap hal-hal yang sifatnya terbatas, yang kemudian disalah artikan bahwa perjalanan semesta ini pasif bahkan mati dan dapat diperlakukan sesuka manusia.

Namun dalam kejadian yang lingkupnya adalah kompleksitas semesta – yang mana sulit terjangkau maupun terkuasai oleh sains – terdapat makna yang lebih tinggi. Bagaimana ternyata perjalanan semesta itu memiliki muatan moral yang hidup, mampu melihat dan berbuat berdasarkan asas baik buruk. Yaitu penglihatan dan perbuatan yang jauh mengungguli penglihatan dan perbuatan “kasar” manusia.

Bagaimana melihat makna dari semesta kehidupan itu. Setidaknya ada 2 cara. Yang pertama adalah melihat alur sejarah hidup umat manusia, akan tetapi perlu dicatat bahwa periode kehidupan yang sudah dapat disaksikan adalah baru sebagian. Sedangkan cara yang kedua adalah dengan menyelami ruang batin manusia sebagai tempat bermuaranya segala kompleksitas semesta. Pada ruang batin itu lah bersemayam akal cerdas semesta yang berisi tujuan-tujuannya.

Tidak setiap manusia berkemampuan sekaligus berkesempatan menyelami ruang batinnya masing-masing. Para Nabi dipercaya sebagai manusia yang berkemampuan dan berkesempatan dalam hal tersebut. Dari mereka lah tereksplore kecerdasan semesta. Dari mereka lah keluar peta batiniah yang dapat dicopy paste kepada umatnya. Peta batiniah itu adalah kitab suci, suatu alat bantu bagi manusia awam dalam mengeksplore arah dalam dirinya sendiri atau semesta alam.

Akan tetapi tidak setiap manusia dapat melakukan copy paste Kitab Suci ke dalam batinnya. Hal tersebut dikarenakan terdapat suasana (kabut) penghalang sehingga alam batinnya tak dapat tertembus oleh suara Kitab Suci. Alam batinnya tak mampu beresonansi tentang iman dan ketuhanan dikarenakan kabut penghalang. Kitab Suci hanya bertempat tinggal di kemampuan kognisi, dan karenanya akan tertolak.

Moralitas bagi Kesadaran

Bagaimana alam ini berada “sebelumnya”, manusia tak mengerti caranya.
Tetapi ketika Kitab Suci mengatakan sesuatu tentang “nanti”, ia bertanya : “bagaimana mungkin?”.
Sebagian manusia mengira bahwa keberadaan kehidupan saat ini adalah produk terhebat dan terakhir dari keberadaan. Sehingga berkesimpulan tak akan ada lagi kehidupan setelah ini. Tetapi mungkin ia terlupa bahwa sebenarnya tak ada batas tentang kemampuan keberadaan. Karena yang “ada” pastilah berdiri bebas sebebas bebasnya di atas ketiadaan.

Terlebih ketika pikiran secara alamiah mampu bercita-cita tentang hal yang ideal, maka alangkah naifnya apabila keberadaan yang telah memproduksi pikiran itu tak dapat memenuhi apa yang terlahir dari pikiran manusia.

Berbicara tentang keberadaan saat ini, apa yang paling tinggi bagi manusia adalah moral hidup. Moral dalam kesadaran. Moral yang mengakui bahwa manusia adalah produk, sehingga ia selayaknya berterimakasih dan tidak menyombongkan diri.

Bermoral kepada Kedahsyatan tak terbatas, dengan cara mengakui adanya kemampuan tak terbatas yang berada di luar manusia.

Bermoral kepada Keabadian, dengan cara mengakui adanya keabadian yang berada di luar rentang waktu manusia.

Bermoral kepada Kebebasan tak terbatas, dengan cara mengakui adanya kehendak yang bebas atas manusia.
Dalam menyaksikan kenyataan hidup manusia, pikiran secara alamiah mengiyakan keadilan dan kedamaian. Maka keadilan dan kedamaian itu pastilah terwujudkan oleh Kedahsyatan tak terbatas. Kedahsyatan yang telah membuat produk yang berwujud pikiran manusia.

Bagaimanakah keadilan dan kedamaian sejati itu terwujud? Manusia tak perlu mengenyitkan dahi, sebagaimana ia tak mengerti tentang asal muasal sejati dari segalanya.

Menjadi Pribadi Rasional Murni, Mungkinkah?

Menurut Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Rasional) :
Rasional diambil dari kata bahasa inggris rational yang mempunyai definisi yaitu dapat diterima oleh akal dan pikiran, dapat dipahami sesuai dengan kemampuan otak. Hal-hal yang rasional adalah suatu hal yang di dalam prosesnya dapat dimengerti sesuai dengan kenyataan dan realitas yang ada. Biasanya kata rasional ditujukan untuk suatu hal atau kegiatan yang masuk diakal dan diterima dengan baik oleh masyarakat.
….. Contoh dari tindakan rasional antara lain seperti:
  • Seorang penjahat diadili karena kejahatannya
  • Seseorang harus menabung agar menjadi orang kaya
  • Seseorang tidak mempercayai hal - hal yang belum dilihatnya
———-
Berapa banyak kata rasional muncul dalam diskusi-diskusi pemikiran. Mungkin sebagian kita (termasuk penulis) mengklaim dirinya sebagai orang yang rasional. Tetapi boleh jadi kita lupa untuk meneliti seberapa konsistenkah berpegang pada prinsip kerasionalan.
Mohon maaf artikel ini tidak serta merta membenarkan seluruh definisi dari Wikipedia di atas, bisa jadi terdapat persamaan dan juga perbedaan pada beberapa hal.

Menurut saya, rasionalitas adalah suatu pengambilan keputusan berdasar akal sehat terhadap realitas, bersifat matematis (penuh perhitungan). Karenanya, rasionalitas idealnya universal, kerangkanya tidak terpengaruh oleh tingkat kemampuan otak seseorang, tidak subyektif. Namun rumusan ini adalah suatu rumusan umum. Secara aplikatif, akan terdapat skala dalam rasionalitas dikarenakan dua faktor kunci:

1.      Faktor pertama, yaitu kondisi akal manusia yang tidak (atau tidak selalu) sehat 100%. Akal yang sehat 100% ibarat kalkulator yang prima, sirkuit dan powernya tidak ada masalah. Sedangkan akal yang kurang sehat ibarat kalkulator yang kurang prima, yaitu kadang error, bahkan kadang off di tengah operasional.
2.      Faktor kedua, yaitu kondisi realitas yang menjadi materi dalam pertimbangan itu tidak bisa 100% terinput.

Dengan adanya dua faktor di atas, terdapat tingkat rasionalitas yang berlainan antara satu orang dengan yang lain.

Faktor kesehatan akal berkorelasi pada ketajaman intelegensia dan keterikatan psikologis. Seringkali atau bahkan selalu, sisi emosional mempengaruhi cara berfikir sehingga tidak lagi obyektif. Sedangkan faktor kedua yaitu kondisi terhadap realitas berkorelasi dengan ketajaman pandangan terhadap lingkungan dan berbagai hal yang mempengaruhi. Kondisi memori juga akan mempengaruhi seberapa banyak realitas yang dapat dilibatkan.

Sebenarnya ada yang kurang dari rumusan rasionalitas di atas. Yakni tentang tujuan atau manfaat: untuk apa kita harus rasional? Maka yang menjadi tujuan dari rasionalitas pastinya adalah kebaikan. Yakni kebaikan diri yang secara otomatis mensyaratkan kebaikan lingkungan, karena diri berada dalam lingkungan. Tetapi di sini penulis menggaris bawahi, bahwa dua faktor kunci yang wajib diperhatikan dalam rasionalitas, yaitu faktor akal dan realitas.
 
Mungkinkah manusia bertindak rasional murni dan sempurna?

Untuk menjadi rasional murni, manusia haruslah memastikan pola pemikirannya sejalan dengan rumusan yang logis - matematis. Netral dan obyektif. Setelah itu, dia harus memperhitungkan segala realitas yang sesungguhnya. Tentang jati diri dan lingkungannya. Dengan perhitungan yang menyeluruh itu maka rasionalitas menjadi sempurna.

Secara ilmiah, keberadaan manusia berasal dari lingkungan atau alam. Semua materi yang menyusunnya mulai dari DNA, otak hingga keringatnya, berasal dari alam. Tersusun oleh partikel-partikel dasar yang sama persis dengan yang ada di alam. Ringkasnya, manusia adalah bagian dari alam. Manusia hidup dan mati, sedangkan alam menjadi induknya. Maka apa dan bagaimana alam itu sesungguhnya, adalah ruang realitas yang harus diketahui wujud pastinya. Dengan menemukan hakekat keberadaan alam, manusia dapat melakukan pemikiran logis secara sempurna dan pasti. Dengan perhitungan yang sempurna, kebaikan sejati dapat ditentukan.

Menelusuri alam, tak ada manusia yang lebih berkompeten melakukannya selain kelompok ilmuan dengan segala riset yang turun menurun menghasilkan rumusan beserta teknologi canggihnya yang telah memakan biaya besar. Sayangnya, sampai saat ini ilmuan belum dapat mencapai ujung pengetahuan tentang alam semesta.
Boleh dibilang sudah sangat jauh “mata” teknologi mengamati dan mempelajari alam semesta, baik itu jauh secara jarak maupun jauh secara waktu ke masa lalu dan ke masa depan. Namun ujungnya ternyata masih dalam “kegelapan”. Bagaimana kondisi yang lebih awal dan bagaimana kondisi yang lebih akhir dari alam semesta ini sebenarnya berwujud, belum mampu ditelusuri.

“Mata” teknologi juga sudah sangat mendalam dalam mengamati dan mempelajari partikel hingga ke level sub atomik. Laboratorium super megah pun dibuat untuk memecah partikel demi mendapatkan apa yang sebenarnya terjadi pada lingkup dasar. Tetapi hasil dari percobaan itu belum didapatkan jawaban dari semua pertanyaan.

Di sisi lain yang tak kalah pentingnya, adalah pencapaian ilmuan dalam merumuskan hukum-hukum yang berlaku di alam. Terdapat empat hukum dasar yang dipastikan mempengaruhi segala gerak materi, yaitu hukum gravitasi, hukum elektromagnet, hukum nuklir lemah dan hukum nuklir kuat. Namun pencapaian ini menyisakan pertanyaan besar, yaitu hukum tunggal yang bagaimanakah yang dapat menyatukan (menjelaskan) keempat hukum tersebut. Salah satu artikel di kompasiana telah membahas hal ini :

http://edukasi.kompasiana.com/2011/08/27/teori-segala-sesuatu-391734.html. Atau bisa ditemukan di wikipedia : http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_dawai.

Nah, manusia sekarang berada pada titik ini, yaitu pada suatu titik di mana pe-ngerti-an terhadap alam semesta mengalami ketidak-tuntasan. Dengan ketidak-tuntasan materi realitas, maka kesempurnaan rasionalitas otomatis gugur demi keterbatasan pengetahuan.
Sehingga kembali pada yang telah disampaikan di awal, terdapat skala rasionalitas pada manusia yang kadarnya di bawah kesempurnaan.

Seberapa tinggi (valid) manusia dapat mencapai rasionalitas, ditentukan oleh berapa persen realitas yang dapat dimasukkan dalam perhitungan. Namun sejujurnya persen realitas ini tak dapat ditentukan karena tidak diketahuinya total semesta realitas yang sejati.
Terkait ketidak-tuntasan realitas yang dapat dimengerti, manusia yang berusaha rasional setidaknya terbagi kepada dua pilihan sikap:

1.      Tidak peduli pada realitas yang belum dapat terkuak itu, dengan menganggapnya tidak akan membawa hal penting terkait pengertian yang sudah ada tentang alam ini. Mereka meyakini bahwa hidup tetaplah seperti “begini” adanya. Sang Aku terlahir, hidup, lalu mati, sudah. Tidak ada yang lain selain itu. Eksistensi kejadian yang belum dapat tertangkap oleh manusia, diabaikan dalam perhitungan akalnya. Mereka merasa sudah mantap dengan pencapaian yang ada dalam menentukan berbagai keputusan hidup. Namun karena tidak adanya hukum tunggal yang menjadi pegangan, maka rasionalitas mereka berjalan terpisah-pisah antara satu aspek hidup dengan aspek hidup yang lain (parsial).

2.      Menganggap bahwa realitas yang belum dapat diketahui itu bisa jadi sangat berpengaruh terhadap keseluruhan konsep realitas yang telah dipahami sekarang, karena realitas yang belum terkuak itu diyakini sebagai kerangka utama kehidupan. Maka rasionalitas mengalami kemendegan informasi inputan. Konsekuensinya mereka tak mau mengandalkan cara berfikir rasional untuk hal-hal yang sifatnya prinsipil. Hal-hal prinsipil diserahkan pada otoritas yang diyakini mampu membawa pencerahan, di antaranya dengan beragama. Mereka tetap menggunakan cara berfikir rasional untuk sisi hidup yang praktis-praktis saja.


Terakhir, ada yang penulis setujui dari statement Stephen Hawking, di mana mengisyaratkan pentingnya memahami alam semesta secara menyeluruh :
 
“My goal is simple. It is a complete understanding of the universe, why it is as it is and why it exists at all.”
“If we do discover a complete theory, it should be in time understandable in broad principle by everyone. Then we shall all, philosophers, scientists, and just ordinary people be able to take part in the discussion of why we and the universe exist.”

Akan tetapi, sebelum semua misteri itu terungkap (atau mungkin tak pernah terungkap), sangat mungkin penulis telah habis menjalani hidupnya di bumi. Karenanya, keputusan atas hal-hal prinsipil yang mendasarkan diri pada keyakinan kepada Tuhan Yang Esa, yang diyakini membawa kebaikan lintas waktu, semoga tak akan pernah terlepas.

Kenapa semua ini "Ada" ?

Karena adanya keajaiban. Yaitu adanya materi.
Kenapa ada batu, ada planet, ada galaksi.
Seharusnya alam ini tak ada. Aku tak ada, tanah tak ada. Cahaya tak ada, siang tak ada, malam tak ada. Nihil.

Tapi nyatanya? ada materi. Inisiatif siapa yang mengadakan itu? Bukan ide mu, bukan ide mereka. Tak pernah terlintas siapapun yang terlahir sebagai materi.
Ini sesuatu yang jelas. Sangat jelas.
Tuhannya batu itu ada. Karena batu itu nyatanya telah ada.

Dan,
Seandainya alam ini hanya berisi bebatuan, cukuplah sains sebagai alat kuasa Tuhan.
Tetapi ternyata di antara bebatuan itu terdapat nilai-nilai kesadaran. Maka kuasa Tuhan pastilah meliputi itu, kesadaran itu.
Kebaikan, kejahatan, semua pasti dalam kuasaNYA.