Menurut Wikipedia (
http://id.wikipedia.org/wiki/Rasional) :
Rasional diambil dari kata bahasa inggris rational yang mempunyai
definisi yaitu dapat diterima oleh akal dan pikiran, dapat dipahami
sesuai dengan kemampuan otak.
Hal-hal yang rasional adalah suatu hal yang di dalam prosesnya dapat
dimengerti sesuai dengan kenyataan dan realitas yang ada. Biasanya kata
rasional ditujukan untuk suatu hal atau kegiatan yang masuk diakal dan
diterima dengan baik oleh masyarakat.
….. Contoh dari tindakan rasional antara lain seperti:
- Seorang penjahat diadili karena kejahatannya
- Seseorang harus menabung agar menjadi orang kaya
- Seseorang tidak mempercayai hal - hal yang belum dilihatnya
———-
Berapa banyak kata rasional muncul dalam diskusi-diskusi pemikiran.
Mungkin sebagian kita (termasuk penulis) mengklaim dirinya sebagai orang
yang rasional. Tetapi boleh jadi kita lupa untuk meneliti seberapa
konsistenkah berpegang pada prinsip kerasionalan.
Mohon maaf artikel ini tidak serta merta membenarkan seluruh definisi
dari Wikipedia di atas, bisa jadi terdapat persamaan dan juga perbedaan
pada beberapa hal.
Menurut saya, rasionalitas adalah suatu pengambilan keputusan berdasar
akal sehat terhadap
realitas,
bersifat matematis (penuh perhitungan). Karenanya, rasionalitas
idealnya universal, kerangkanya tidak terpengaruh oleh tingkat kemampuan
otak seseorang, tidak subyektif. Namun rumusan ini adalah suatu rumusan
umum. Secara aplikatif, akan terdapat skala dalam rasionalitas
dikarenakan dua faktor kunci:
1. Faktor pertama, yaitu kondisi akal manusia yang tidak (atau
tidak selalu) sehat 100%. Akal yang sehat 100% ibarat kalkulator yang
prima, sirkuit dan powernya tidak ada masalah. Sedangkan akal yang
kurang sehat ibarat kalkulator yang kurang prima, yaitu kadang error,
bahkan kadang off di tengah operasional.
2. Faktor kedua, yaitu kondisi realitas yang menjadi materi dalam pertimbangan itu tidak bisa 100% terinput.
Dengan adanya dua faktor di atas, terdapat tingkat rasionalitas yang berlainan antara satu orang dengan yang lain.
Faktor kesehatan akal berkorelasi pada ketajaman intelegensia dan
keterikatan psikologis. Seringkali atau bahkan selalu, sisi emosional
mempengaruhi cara berfikir sehingga tidak lagi obyektif. Sedangkan
faktor kedua yaitu kondisi terhadap realitas berkorelasi dengan
ketajaman pandangan terhadap lingkungan dan berbagai hal yang
mempengaruhi. Kondisi memori juga akan mempengaruhi seberapa banyak
realitas yang dapat dilibatkan.
Sebenarnya ada yang kurang dari rumusan rasionalitas di atas. Yakni tentang tujuan atau manfaat:
untuk apa kita harus rasional?
Maka yang menjadi tujuan dari rasionalitas pastinya adalah kebaikan.
Yakni kebaikan diri yang secara otomatis mensyaratkan kebaikan
lingkungan, karena diri berada dalam lingkungan. Tetapi di sini penulis
menggaris bawahi, bahwa dua faktor kunci yang wajib diperhatikan dalam
rasionalitas, yaitu faktor akal dan realitas.
Mungkinkah manusia bertindak rasional murni dan sempurna?
Untuk menjadi rasional murni, manusia haruslah memastikan pola
pemikirannya sejalan dengan rumusan yang logis - matematis. Netral dan
obyektif. Setelah itu, dia harus memperhitungkan segala realitas yang
sesungguhnya. Tentang jati diri dan lingkungannya. Dengan perhitungan
yang menyeluruh itu maka rasionalitas menjadi sempurna.
Secara ilmiah, keberadaan manusia berasal dari lingkungan atau alam.
Semua materi yang menyusunnya mulai dari DNA, otak hingga keringatnya,
berasal dari alam. Tersusun oleh partikel-partikel dasar yang sama
persis dengan yang ada di alam. Ringkasnya, manusia adalah bagian dari
alam. Manusia hidup dan mati, sedangkan alam menjadi induknya. Maka apa
dan bagaimana alam itu sesungguhnya, adalah ruang realitas yang harus
diketahui wujud pastinya. Dengan menemukan hakekat keberadaan alam,
manusia dapat melakukan pemikiran logis secara sempurna dan pasti.
Dengan perhitungan yang sempurna, kebaikan sejati dapat ditentukan.
Menelusuri alam, tak ada manusia yang lebih berkompeten melakukannya
selain kelompok ilmuan dengan segala riset yang turun menurun
menghasilkan rumusan beserta teknologi canggihnya yang telah memakan
biaya besar. Sayangnya, sampai saat ini ilmuan belum dapat mencapai
ujung pengetahuan tentang alam semesta.
Boleh dibilang sudah sangat jauh “mata” teknologi mengamati dan
mempelajari alam semesta, baik itu jauh secara jarak maupun jauh secara
waktu ke masa lalu dan ke masa depan. Namun ujungnya ternyata masih
dalam “kegelapan”. Bagaimana kondisi yang lebih awal dan bagaimana
kondisi yang lebih akhir dari alam semesta ini sebenarnya berwujud,
belum mampu ditelusuri.
“Mata” teknologi juga sudah sangat mendalam dalam mengamati dan
mempelajari partikel hingga ke level sub atomik. Laboratorium super
megah pun dibuat untuk memecah partikel demi mendapatkan apa yang
sebenarnya terjadi pada lingkup dasar. Tetapi hasil dari percobaan itu
belum didapatkan jawaban dari semua pertanyaan.
Di sisi lain yang tak kalah pentingnya, adalah pencapaian ilmuan dalam
merumuskan hukum-hukum yang berlaku di alam. Terdapat empat hukum dasar
yang dipastikan mempengaruhi segala gerak materi, yaitu hukum gravitasi,
hukum elektromagnet, hukum nuklir lemah dan hukum nuklir kuat. Namun
pencapaian ini menyisakan pertanyaan besar, yaitu hukum tunggal yang
bagaimanakah yang dapat menyatukan (menjelaskan) keempat hukum tersebut.
Salah satu artikel di kompasiana telah membahas hal ini :
http://edukasi.kompasiana.com/2011/08/27/teori-segala-sesuatu-391734.html. Atau bisa ditemukan di wikipedia :
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_dawai.
Nah, manusia sekarang berada pada titik ini, yaitu pada suatu titik di
mana pe-ngerti-an terhadap alam semesta mengalami ketidak-tuntasan.
Dengan ketidak-tuntasan materi realitas, maka kesempurnaan rasionalitas
otomatis gugur demi keterbatasan pengetahuan.
Sehingga kembali pada yang telah disampaikan di awal, terdapat skala
rasionalitas pada manusia yang kadarnya di bawah kesempurnaan.
Seberapa tinggi (valid) manusia dapat mencapai rasionalitas, ditentukan
oleh berapa persen realitas yang dapat dimasukkan dalam perhitungan.
Namun sejujurnya persen realitas ini tak dapat ditentukan karena tidak
diketahuinya total semesta realitas yang sejati.
Terkait ketidak-tuntasan realitas yang dapat dimengerti, manusia yang
berusaha rasional setidaknya terbagi kepada dua pilihan sikap:
1. Tidak peduli pada realitas yang belum dapat terkuak itu, dengan
menganggapnya tidak akan membawa hal penting terkait pengertian yang
sudah ada tentang alam ini. Mereka meyakini bahwa hidup tetaplah seperti
“begini” adanya. Sang Aku terlahir, hidup, lalu mati, sudah. Tidak ada
yang lain selain itu. Eksistensi kejadian yang belum dapat tertangkap
oleh manusia, diabaikan dalam perhitungan akalnya. Mereka merasa sudah
mantap dengan pencapaian yang ada dalam menentukan berbagai keputusan
hidup. Namun karena tidak adanya hukum tunggal yang menjadi pegangan,
maka rasionalitas mereka berjalan terpisah-pisah antara satu aspek hidup
dengan aspek hidup yang lain (parsial).
2. Menganggap bahwa realitas yang belum dapat diketahui itu bisa
jadi sangat berpengaruh terhadap keseluruhan konsep realitas yang telah
dipahami sekarang, karena realitas yang belum terkuak itu diyakini
sebagai kerangka utama kehidupan. Maka rasionalitas mengalami kemendegan
informasi inputan. Konsekuensinya mereka tak mau mengandalkan cara
berfikir rasional untuk hal-hal yang sifatnya prinsipil. Hal-hal
prinsipil diserahkan pada otoritas yang diyakini mampu membawa
pencerahan, di antaranya dengan beragama. Mereka tetap menggunakan cara
berfikir rasional untuk sisi hidup yang praktis-praktis saja.
Terakhir, ada yang penulis setujui dari statement Stephen Hawking, di
mana mengisyaratkan pentingnya memahami alam semesta secara menyeluruh :
“My goal is simple. It is a complete understanding of the universe, why it is as it is and why it exists at all.”
“If we do discover a complete theory, it should be in time
understandable in broad principle by everyone. Then we shall all,
philosophers, scientists, and just ordinary people be able to take part
in the discussion of why we and the universe exist.”
Akan tetapi, sebelum semua misteri itu terungkap (atau mungkin tak
pernah terungkap), sangat mungkin penulis telah habis menjalani hidupnya
di bumi. Karenanya, keputusan atas hal-hal prinsipil yang mendasarkan
diri pada keyakinan kepada Tuhan Yang Esa, yang diyakini membawa
kebaikan lintas waktu, semoga tak akan pernah terlepas.