Selamat datang.. Hingar bingar di sekeliling mari diambil hikmahnya, karena keadaan masyarakat akan berubah bila diri kita berubah. Salam hangat!

Wednesday, January 9, 2013

Matematika dalam Pendekatan Pemahaman Relasi Tuhan - Makhluk

Ini adalah respon sederhana terhadap tulisan Kompasioner yang berjudul Logika Tuhan, Logika Matematika

Kenapa aljabar / aritmatika tetaplah sebagai ilmu ide (bukan ilmu kongkrit), karena bilangan sebagai komponennya tak bisa didapatkan oleh akal secara sempurna di dunia empiris. Yang ada hanya pendefinisian yg sifatnya terbatas/ pendekatan saja.

Misal dalam operasional matematika ada variabel “1 kelereng”. Apakah kita bisa mendapatkan 1 kelerang “murni” pada level empiris? Saya yakin tidak bisa, karena sebuah kelereng pasti mengandung “zat2 & gelombang non-kelereng” yang menempel di kelereng itu saat sebuah kelereng kita tunjuk. Maka komponen operasional “1 kelereng” yang ada di atas kertas pada dasarnya tetaplah suatu ide belaka.

—–

Apabila kita hendak menyandingkan antara Tuhan dan Matematika, maka menurut saya begini :

Bilangan-bilangan dan operasional standar matematika itu identik dengan makhluk, bukan tentang Tuhan itu sendiri. Sedangkan Kegaiban Tuhan itu ada pada ranah “Tak Terhingga” ( ~ ) yang merupakan hasil operasional istimewa : Bilangan dibagi dengan Nol ( ~ = x / 0 ). “Tak Terhingga” tak mampu tersusun oleh bilangan, tetapi bilangan-bilangan adalah bagian dari “Tak Terhingga”.

Kesimpulan dari semua uraian di atas, bilangan itu sendiri sudah merupakan sesuatu yang “tak dapat sempurna dijamah”, sedangkan “Tak Terhingga” itu merupakan sesuatu yang “mustahil untuk dicapai” oleh bilangan.

Tuhan mustahil dicapai oleh manusia dengan keterbatasan dirinya. Tuhan lah yang menunjukkan kepada manusia suatu cara pengenalan kepada diriNYA melalui caraNYA sendiri, yang bisa disebut dengan suatu kode. Kode itu adalah agama, yang apabila dibahasakan secara matematika (sebagai bahasa yang paling dasar) adalah operasional x / 0, di mana x = bilangan.

Lihatlah bagaimana x / 0 yang bisa = ~ . Bandingkan dengan kemampuan manusia kalau toh mencapai 999.999.999.999.999.999.999.999 sekalipun, maka itu tetaplah tidak bisa menjangkau ~ .

Sekilas bisa dibantah, bukankah kode “x / 0” bisa ditemukan sendiri oleh manusia?
Ya, bisa karena x / 0 hanyalah penemuan matematika yang sifatnya ide belaka. Dalam tataran realitas manusia, mencapai keadaan 0 mustahil bisa, sebagaimana di depan diterangkan bahwa untuk mendapatkan fakta 1 kelereng, kita tak akan mampu. Maka sekali lagi, manusia yang terbatas tak bisa membuat jembatan antara dirinya dengan Tuhan. Tetapi Tuhan yang tak terbatas itulah yang bisa.

Sebagai kode kehidupan, agama adalah “kombinasi kompleks” yang mencakup semua ilmu. Manusia tak akan bisa menguak hakikat agama, tetapi manusia bisa menganalisa secara terbatas terhadap agama melalui pendekatan-pendekatan keilmuan.

Sadar Diri (tentang kesabaran)

Sikap bersabar yang diajarkan oleh Tuhan ternyata sebuah pengajaran yang sangat mendasar, tentang penerimaan diri sebagai makhluk. “Sadarilah wujudmu sebagai makhluk”
Coba kita lihat:
  1. Makhluk berupa materi, dan materi pasti ber-ukuran. Dengan ukuran, maka ada jarak, ada ruang. Untuk berpindah ke tempat yang diinginkan butuh bergerak. Bergerak melewati suatu jalan yang terdiri dari satu persatu titik. Maka pasti ada proses untuk melewati satu per satu titik sebelum sampai ke titik yang diinginkan. Proses memakan waktu, sehingga butuh kesabaran.

  2. Dengan ukuran, maka berbilang, materi pun jadi banyak. Sesuatu yang banyak, suatu saat mengalami antrian untuk mencapai tujuan yang sama. Maka manusia butuh kesabaran.

  3. Dengan ukuran maka ada perbedaan-perbedaan energi. Maka ada perbedaan zat, dan perbedaan organisasi zat, sehingga ada perbedaan makhluk. Dalam makhluk yang sejenis pun ada perbedaan energi. Maka lagi-lagi manusia butuh kesabaran dalam menghadapi perbedaan.
Maka sudahlah, bersabarlah saja jadi makhluk, itulah takdir kita. Teknologi bisa saja mempermudah, tapi takdir berproses selamanya tak akan punah. Takdir mengantri selalu ditemui.

Dan nikmatilah saja, karena dengan perbedaan-perbedaan energi, maka ada penambahan dan pengurangan energi. Dan pada hal-hal energi itu sesungguhnya terdapat rahasia besar, yaitu peluang makhluk untuk merasakan kenikmatan. Bahkan Tuhan selalu memberikan nilai tambah dengan mekanismeNYA. Maka bergeraklah di antara tingkatan energi itu lalu carilah kenikmatan sebanyak-banyaknya. Dan jauhilah peluang menjadi pesakitan, dan jadilah makhluk yang sukses.

Tapi, eitss.. rupanya ada yang tak terima dijadikan makhluk?
Si nafsu ya? Ini dia, nafsu tak ingin ada proses. Nafsu tak ingin mengantri. Nafsu inginnya yang langsung-langsung, seolah mau jadi tuhan saja. Wah wah.., kendalikanlah nafsu itu.. bahaya lah, karena ia hendak menentang takdir. Alih-alih membawa pada kenikmatan-kenikmatan, yang ditemui nanti malah kesengsaraan…waspadalah…!

Belajar "Membaca" Kitab Suci (1)

Sebagian orang mungkin nyeletuk, “Ini isinya cuman begini, apanya yg hebat?”

Pertama, sudahkah membaca secara menyeluruh? Karena manusia hidup dlm keadaan menyatu dari ujung jari, akal hingga jantungnya, sehingga yang tepat baginya adalah paket pengetahuan yang utuh-menyeluruh pula. Kedua, sudahkah mencoba membacanya dengan perangkat baca yang lengkap, di antaranya dengan kepekaan mata hati? Terakhir, ketika ingin mengkritisi, apakah sudah menggunakan kesepakatan / landasan yang sama, yaitu tentang paket keimanan?

Di point kedua menyinggung soal hati? Apalagi itu, kan hanya fenomena saja?
Wah, ya terserah saja kalau hati hanya dianggap fenomena tak penting, karena nyatanya faktor fenomena itu mampu mengobrak-abrik tatanan hidup, mampu membutakan diri sehingga mengingkari fakta-fakta materi dan rasio. Mampu membuat hidup hambar, pikiran kosong, frustrasi, depresi, hidup segan mati tak mau, bunuh diri, gila, dan lain sebagainya. Jadi layak kah mengingkari hati, sedangkan ia sangat mungkin akan teraduk-aduk dengan sendirinya di antara dinamika hidup yang tak terduga-duga: kematian seseorang yg dibutuhkan, mendapat rejeki besar, kecelakaan fisik, mendadak terkenal hebat, dirampok, mendapat peluang bisnis besar, diteror, diperkosa?

Kitab suci mengetuk dan mengelola hati, menggugah kesadaran sebagai makhluk, menumbuhkan rasa akan adanya kasih-sayang Tuhan tak terbatas, mengajak manusia menikmati hidup bahagia kekal di atas semua keadaan.

Bahagia di atas semua keadaan? Memang tak mudah bagi yang mau mudahnya saja, tetapi bisa diraih bagi yang bekerja keras memfungsikan potensi utuh dirinya. Dan ketika ada sederet kisah manusia mulia yang telah membuktikannya, maka itu seharusnya memberikan keyakinan bahwa konsep dari Kitab Suci adalah benar adanya. Itu bukanlah hal yang utopis, mengingat kitab suci sebagai Firman Tuhan pastinya berkompeten dalam memperkuat semua fitur kebahagiaan dan pertahanan diri. Bukan sekedar sugesti, tetapi nyata berharmoni dengan lingkungan sehingga memiliki kesinambungan.

Kitab suci bukan tulisan biasa, tetapi luar biasa. Rentangnya dari satu ujung yang ekstrim kepada ujung lainnya yang ekstrim. Dari surga hingga neraka. Diamini oleh sebagian manusia dengan kesyukuran tertinggi, dihujat oleh sebagian manusia dengan ke-angkaramurka-an tiada tara. Mengungkap kebaikan tertinggi yang bisa dicapai manusia sekaligus menerangkan potensi kejahatan tertinggi pula. Memang demikianlah keadaannya, yaitu ada di sepanjang rentang keadaan umat manusia.

Salah satu upaya dalam “membaca” Kitab Suci, kiranya bolehlah kita memikirkan bagaimanakah kedudukan Kitab Suci dalam ruang komunikasi Tuhan – makhluk.
  1. Kitab Suci adalah bentuk komunikasi dari Komunikator (Tuhan) kepada komunikan (manusia). Di sini kitab suci hanya eksis (berarti) bagi yang mengakui adanya sang Komunikator dan syarat yang ditetapkan oleh Komunikator. Syarat itu adalah paket keimanan.

  2. Tuhan adalah Komunikator Terbaik karena memahami sepenuhnya diri manusia, sehingga pasti menyampaikan pesan sesuai totalitas keadaan manusia. Secara total di sini juga berarti bahwa pesan sudah final dan jelas adanya sehingga komunikan tak perlu bertanya balik kepada Komunikator untuk meminta penjelasan atau menanyakan hal lainnya. Sejauh komunikan menggunakan kemampuan analisisnya dengan baik, maka semua hal dalam kehidupan akan turut dapat terjelaskan maknanya.

  3. Totalitas pesan juga berarti melintasi perbedaan tingkat pemahaman manusia dan juga perkembangan jaman. Hal ini terwujud dalam kesederhanaan pesan pada kesan awalnya, dan beranjak kompleks pada kesan-kesan selanjutnya apabila ditelusuri lebih mendalam dan dirangkai lebih menyeluruh.

  4. Pesan ditujukan kepada semua perangkat kesadaran yang mempengaruhi segala keadaan manusia. Secara simple, perangkat kesadaran tersebut adalah akal rasio dan hati. Akal rasio sebagai pengolah informasi realitas, sedangkan hati adalah pengolah energi dalam diri.

  5. Pesan memiliki karakter tertentu sesuai perangkat penerimanya, apakah akal rasio ataukah hati. Kesesuaian antara karakter kata dengan perangkat penerima akan mendukung tersampaikannya pesan-pesan secara sempurna. Pengulangan-pengulangan ayat adalah salah satu bentuk penyampaian pesan kepada hati.

  6. Pesan bersifat efektif, yakni bermakna tinggi karena berorientasi kuat pada manfaat yang menggerakkan diri ke dalam atau ke luar untuk mencapai berbagai tujuan penting secara langsung maupun tidak langsung.

  7. Efektifitas pesan juga tertuang dalam bentuk muatannya yang serius, yang tak layak diremehkan oleh komponen kesadaran yang berhasil memahaminya, karena seakan telah terjadi “reaksi kimia” antara sistem kesadaran dengan pesan . Karenanya akan menjadi hal yang secara otomatis mengikat bagi siapapun individu yang memahaminya. Dan, setiap kata memiliki muatan yang berarti, tak ada yang bisa diabaikan.
Demikianlah sebatas pandangan penulis.
Wallahu a’lam.

Belajar "Membaca" Kitab Suci (2)

Melanjutkan artikel sebelumnya, perlu untuk melihat bagaimana penyebaran pesan Kitab Suci yang terjadi di antara sesama manusia. Menyebar pesan di sini berarti mengantarkan cara hidup hingga nilai kebenaran. Tak bisa dipungkiri bahwa dalam hal ini kadang terjadi keributan antar sesama yang mungkin saja dikarenakan cara pandang yang kurang tepat terhadap apa itu “pesan dari Tuhan”.

Mengantarkan kebenaran Kitab Suci pada satu sisi adalah sebagai perwujudan dari rasa kemanusiaan. Ibarat seseorang yang sedang berjalan bersama seorang kawannya yang buta, maka ketika mendapati kawannya yang buta hendak menuju lubang berbahaya maka dia pasti memberitahukan kepada kawannya itu agar segera berbelok.

Di sisi lain, mengantarkan kebenaran Kitab Suci berarti juga mengantarkan sesuatu nilai yang tinggi yang dapat diperdebatkan keberadaannya apabila dibawa pada landasan realitas empiris.
Namun sejatinya, mengantar kebenaran Kitab Suci ini tidak hanya diperuntukkan kepada orang lain, melainkan juga kepada diri sendiri sebagai sasaran terpenting.


Tentang Bukti Kebenaran Kitab Suci 

Mengantarkan kebenaran Kitab Suci terkait erat dengan bukti. Dan, Tuhan telah menyatakan bahwa bukti kebenaran Kitab Suci ada pada diri sendiri dan alam semesta, karenanya manusia beriman pastinya percaya penuh akan hal itu.

Namun kepercayaan saja tentu kurang sempurna karena manusia adalah makhluk yang terdiri dari batin dan lahir sekaligus, sedangkan kepercayaan baru menyentuh sisi batiniah saja. Manusia yang beriman seharusnya mengetahui bukti kebenaran Kitab Suci yang pastinya bermanfaat. Karena selain untuk memperkuat keyakinan, hal itu juga sebagai tanda bahwa ia telah mempraktekkan pesan-pesan Tuhan, bukan hanya keimanan yang kosong tanpa praktek dan tak bermakna (keimanan palsu). Dan bukti yang diketahui itu sekaligus sebagai anugerah (hadiah) yang nyata.

Sejalan dengan yang Tuhan nyatakan, maka pembuktian dapat ditemukan pada diri sendiri, dan pada alam semesta. Dan sebagai manusia yang terbatas kemampuannya, maka pembuktian yang paling mudah (dan karenanya menjadi pengupayaan minimal) adalah pada batasan yang paling sempit, yaitu pada batin (masing-masing) : apakah batinnya merasa lebih tenang dengan keimanan, atau tidak.

Seiring dengan kemampuan yang lebih baik, maka batasannya bisa lebih luas, misalkan pada keadaan tubuhnya : kesehatan, kejujuran, ketekunan, kesabaran, disiplinan, dll.

Lebih luas lagi pada keluarga yang sama-sama beriman dengan baik : apakah bahagia, harmonis, tenteram, tercukupi kebutuhan yang diinginkan, dll.

Lebih luas lagi pada masyarakat, negara, bahkan dunia apabila semuanya beriman dengan baik. Namun ketika realitasnya tak semua manusia beriman, maka hanya dengan analisa (dari ahlinya) lah pembuktikan dapat dilakukan.

Keluasan lingkup pembuktian juga berlaku pada komponen lingkungan, apakah penerapan Kitab Suci dapat memberikan kontribusi positif bagi lingkungan, ataukah tidak. Hal ini tentunya hanya dapat dilakukan oleh sebagian ilmuan yang mencapainya dengan metoda yang benar.


Namun perlu dimaklumi, bahwa dikarenakan kebenaran Kitab Suci pada batasan yang luas yaitu di level lingkungan dan level masyarakat memiliki dimensi yang kompleks untuk dilakukan oleh komunitas ilmuan yang beriman (sepertinya sebagian besar ilmuan dunia tidak beriman kepada Kitab Suci), maka bukti-bukti ilmiah sahih (yang terserak di antara banyaknya bukti ilmiah sementara/ belum sahih) hanya menjadi semacam bukti bisu saja bagi manusia tentang kebenaran Kitab Suci.

Ya, hanya bukti bisu karena sedikit sekali ilmuan yang berminat, berkompeten sekaligus bertanggung jawab dalam upaya menarik relasi pesan Kitab Suci dengan bukti ilmiah sahih. Kalau toh ada yang mampu, belum tentu ia akan mendapat pengakuan dari komunitas global ilmuan, bahkan tidak jarang muncul pertentangan. Jadilah masyarakat terpolar pada setidaknya dua kutub pendapat para ilmuan : yang mengakui bukti kebenaran Kitab Suci (jumlahnya sangat sedikit) dan yang tidak mengakui (jumlahnya sangat banyak). Belum lagi adanya pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dengan mengklaimkan hoax sebagai bukti Kitab Suci, maka bertambah lagi kutub pandangan di masyarakat.

Maka menjadi sesuatu yang sulit untuk menyampaikan bukti kebenaran Kitab Suci yang batasannya luas (yaitu lingkungan dan masyarakat) kepada manusia yang lain. Tak jarang tuduhan klaim sepihak terlontar kepada para penyampai. Terlebih apabila penyampaian disertai dengan membabi buta, hal itu bisa berakibat kontraproduktif dan justru dapat merusak nilai keimanan diri sendiri.

Maka yang paling bermanfaat adalah pengkomunikasian internal (kepada diri sendiri) sehingga beragamlah bukti yang didapatkan dari mulai lingkup diri sendiri hingga lingkup di luar diri. Implikasinya adalah semakin bersemangat dalam mempraktekkan Kitab Suci dalam peri-kehidupan yang ujung-ujungnya akan menghasilkan manfaat lebih dan bukti-bukti baru yang semakin mantap. Dan bukti-bukti baru itu mungkin juga akan dirasakan secara nyata oleh lingkungan serta masyarakat.

—–

Kembali ke awal, terkait cara pandang tentang apa itu “pesan dari Tuhan” setidaknya ada tiga hal yang perlu untuk dipahami :
  1. Kitab Suci adalah pesan Tuhan. Dan “pesan dari Tuhan” selamanya tak bisa beralih menjadi “pesan dari manusia”, karena manusia tak akan sanggup mengungkap keseluruhan rahasia dari pesan itu. Apa yang bisa menjadi “milik” manusia adalah sebatas yang dipahami dan dibuktikan dari pesan itu. Konsekuensinya adalah tak bisa manusia memaksakan suatu pesan kepada orang lain. Manusia hanya sebatas menyampaikan pesan, dan boleh memberikan bantuan pemahaman orang lain atas pesan apabila memiliki pemahaman yang lebih baik.

  2. Kitab Suci diturunkan untuk yang memahami bahasa, utamanya adalah manusia. Sedangkan manusia terhadap manusia lain adalah setara. Maka kapanpun seorang manusia memahami isi pesan, seketika itu juga dialah yang mendapat konsekuensi atas pesan. Melempar pesan kepada yang lain tidak melepaskan diri dari konsekuensi pesan atas diri dan aset yang diberikan Tuhan.

  3. Kitab Suci bukanlah sesuatu yang bekerja sendiri. Ia adalah pasangan dari aset yang diberikan Tuhan kepada manusia utamanya akal dan hati. Karenanya pemaknaannya tidak bisa dilepaskan dari kinerja akal dan hati, dalam arti selalu diperlukan penganalisaan sekaligus perenungan terhadap setiap pesan. Dan ketika pesan dilaksanakan oleh manusia yang terbatas, maka apa yang dikerjakan manusia itu tidak bisa diklaimkan telah mencerminkan isi pesan seutuhnya.

Sebuah ilustrasi sederhana tentang beberapa maksud di atas : 

A adalah seorang owner perusahaan roti dan ahlinya, sedangkan B, C, dan D adalah pekerja barunya yang level ketiganya sama, masing-masing dibekali alat dan bahan pembuat kue yang sama persis.
Suatu ketika A ingin memberi instruksi ke pekerjanya yang sangat amatir, tapi kali ini ia sedang di luar kota sehingga hanya bisa mengirim pesan via email. Email ditujukan ke B, karena C dan D tidak kenal internet. Isi email tersebut sbb:

Dear Mas B,

Hari ini tolong kamu buat roti yang mengembang bagus ya. Tipsnya:

Gunakan 0,5 kg tepung terigu, sebaiknya campur terigu dengan tepung lainnya seperti tepung gandum namun dengan total campurannya 0,5 kg. Selain itu, untuk menghasilkan roti yang terbaik, jangan terlalu sering menyentuh adonan roti dengan tangan saat menguleni roti. Ragi pada roti tidak akan mengembang sempurna ketika terlalu banyak ditekan. Istirahatkan sejenak adonan roti agar mengembang sempurna, dan membentuk karbondioksida yang cukup untuk melembutkan tekstur roti.


Oya, sampaikan ke Mas C dan Mas D untuk buat juga

Antara B, C dan D masing-masing memiliki pengalaman yang berbeda-beda di bidang pembuatan kue, tapi belum ada yang punya pengalaman membuat roti yang mengembang.
Nah, sehabis baca email itu reaksi B ada beberapa kemungkinan, di antaranya :
  1. B tidak mencoba sama sekali, hanya menyampaikan email ke C dan D. C dan D pun praktek dan menghasilkan roti yang belum begitu mengembang. >> reaksi B ini salah besar menurut Owner karena sudah diberikan alat dan bahan tetapi tidak digunakan untuk bekerja.

  2. B coba-coba sendiri, namun dia gagal karena rotinya hanya sedikit mengembang. Dia menyembunyikan email itu, dan hanya berceramah sok tahu ke C dan D berdasar pengalamannya tadi. Bercampurlah kata-kata owner dengan kata-katanya sendiri. C dan D pun mengikuti B dan coba membuat, lalu gagal. Lalu B mengolok-olok kedua temannya itu sebagai orang bodoh >> reaksi B ini salah menurut Owner.

  3. B mencoba dulu sendiri, namun gagal. Lalu B memberi tahu ke C dan D tentang isi email apa adanya. Dia bersikap pasrah (netral) saja kalau hasil dari C dan D lebih baik darinya. Kalau toh C dan D tak mau mempraktekkan isi email itu, B juga tetap akan netral saja toh dia sudah menyampaikan. >> reaksi B ini dimaklumi oleh Owner, dan Owner berpesan ke B agar mau berusaha lebih keras agar berhasil membuat roti mengembang.

  4. B coba-coba sendiri dan menurutnya lumayan berhasil : cukup mengembang. Lalu dia menuntun C dan D untuk mempraktekkan apa yang sudah dipraktekkan. >> reaksi B ini kurang tepat menurut Owner, dan Owner berpesan ke B “lain kali tolong C dan D biar baca emailku juga, dia mungkin bisa buat roti mengembang lebih sempurna daripada punyamu”

  5. B langsung mengajak C dan D untuk sama-sama membaca email dan diskusi serta praktek berdasar pengalaman ketiganya. Mereka tidak ada yang merasa lebih unggul dari yang lain. >> reaksi ini paling benar menurut pandangan Owner.
Demikian.
Wallahu a’lam