Selamat datang.. Hingar bingar di sekeliling mari diambil hikmahnya, karena keadaan masyarakat akan berubah bila diri kita berubah. Salam hangat!

Tuesday, March 10, 2009

Rupiah dari Emosi si Bintang Cilik di Media Televisi

Sesekali menemani anak menonton tayangan Idola Cilik di RCTI, ada 1 segmen yang membuat prihatin, yaitu pada saat pengumuman hasil rapor. Sebenarnya hal semacam ini adalah pemandangan yang biasa di setiap show kontes yang digelar berbagai stasiun TV bahwa di akhir suatu sesi pementasan akan ada pengumuman nilai yang seringkali didasarkan pada perolehan jumlah sms yang masuk.


Sudah menjadi resep umum, keberhasilan suatu acara kontest idola tidak luput dari adanya unsur emosional yang kental di dalamnya. Masyarakat diajak untuk larut dalam suasana mendukung seorang bintang favoritnya agar dapat melaju ke babak selanjutnya. Untuk tujuan itu, dibuatlah segala sesuatunya agar menciptakan suatu kesan drama emosi yang di dalamnya ada tawa, tangis, tegang, kaget, sedih, gemas, dll. Semakin emosi pemirsa teraduk-aduk maka diyakini akan semakin tinggi pula rating acara, dan yang tidak kalah penting adalah semakin banyak sms dapat terjaring.


Sesi pengumuman nilai pun tidak luput dari obyek dramatisasi ini, bahkan tampaknya menjadi spot yang sangat berpengaruh. Berbagai bentuk skenario pengumuman dibuat, dari yang mengundang gelak tawa, hingga yang dirancang untuk mengundang tangisan (bila perlu sampai pingsan).


Idola Cilik, sebagai kontest idola yang diikuti oleh anak-anak, ternyata juga menjadi sasaran ini. Di sesi pemberian rapor nilai tersebut diketengahkan adegan yang sangat menegangkan bila diukur dari kapasitas psikologis anak-anak yang rata-rata berusia 6 tahun.


Rangkaian ceritanya adalah, seorang peserta diminta berdiri sendirian di tengah panggung. Diiringi alunan musik yang beritme monoton dan tegang, si bocah berdiri cukup lama layaknya orang yang menunggu hukuman. Presenter pun dari kejauhan memainkan perannya dengan memberikan kata pengantar yang bertele-tele dan menggunakan uraian kata dan logat yang sangat serius. Peserta kemudian diberikan kertas kotak besar simbol dari buku rapor. Setelah menerima "buku" itu, peserta tidak boleh langsung melihat hasilnya, tetap harus menanti dan melewati lagi suasana yang memacu detak jantung.

Menghadapi moment itu, kebanyakan dari peserta yang belum punya dosa itu terlihat tegang. Selain karena image - yang diciptakan - bahwa kekalahan sangat menyedihkan, juga karena rentang waktu terhitung demikian lama untuk sekedar mendapatkan kepastian hasil. Kadang bahkan diselipkan iklan!

Tampak sekali ketegangan dan ketakutan mereka walaupun mencoba membalutnya dengan senyuman. Sepertinya itulah yang diharapkan oleh produser acara agar pemirsa merasa iba. Maka sang kameramen akan men-close-up raut si bocah agar masyarakat bisa menangkap betapa si bocah begitu "merana"...

Kenapa anak-anak diperlakukan seperti itu? Dengan kondisi psikologis yang masih dini, hal itu sangat mungkin menimbulkan trauma meskipun mereka terbiasa beraksi di depan ribuan orang. Bernyanyi dan menari sangat berbeda keadaannya dengan berdiri kaku dan di"hakimi".


Menjadi teringat pada suatu kontest idola kelas dewasa, seorang ibu dari peserta gadis remaja bisa jatuh pingsan lantaran sangat larut dalam skenario dramatisasi di acara tersebut. Nah, si ibu saja bisa sedemikian rapuh menghadapi ketegangan, lantas bagaimana dengan nasib anak-anak itu?

Begitukah gambaran dunia pertelevisian kita saat ini? Masih banyak yang perlu disoroti di luar fenomena si Ponari yang dipandang beberapa pihak sebagai sebuah kasus eksploitasi anak.

No comments: