Mukjizat adalah kehendak Tuhan dengan tujuan umumnya adalah sebagai
tanda-tanda kekuasaanNYA bagi manusia. Namun, tujuan kontekstual dari mukjizat tak
bisa dirumuskan. Kita lihat bagaimana karakteristik tujuan kontekstual dari mukjizat
yang diturunkan kepada para Nabi di dunia :
- Suatu ketika menolong, suatu ketika memberi pelajaran.
- Suatu ketika mengalahkan, suatu ketika menimbulkan ketakjuban,
- Suatu ketika mengabulkan doa, suatu ketika menjawab tantangan,
- Suatu ketika menyempurnakan ketetapanNYA, suatu ketika melekatkan kemampuan tertentu yang dikehendakiNYA.
Maksud di atas adalah bahwa Nabi tidak berdaya untuk memilih
mukjizat itu, sepenuhnya mukijzat turun karena mengikuti kehendakNYA. Kondisi
ekstrimnya adalah bahwa pada kenyataannya ada Nabi yang tertolong nyawanya
dengan mukjizat, namun ada juga Nabi yang terbunuh.
(Catatan: Terkait Nabi yang terbunuh itu secara ghaib
diterangkan oleh Tuhan setelahnya, bahwa Nabi yang terbunuh itu sebenarnya
dalam keadaan tersejahterakan di alam yang lain, meskipun secara pandangan
manusia di dunia tidak terjadi mukjizat yang menolongnya. )
Maka berdasar kondisi tersebut, tidak tepat kalau di dunia
ini kita terlalu mengharapkan mukjizat dalam pengertian munculnya suatu
kejadian yang adikodrati. Bukan saja karena kita sangat jauh dari sifat Nabi,
tapi juga karena Nabi saja tidak dapat menentukan sendiri tentang mukjizat,
apakah diturunkan atau tidak. Dan yang terpenting adalah bahwa sebenarnya
mukjizat bukanlah tujuan hidup, melainkan bagaimana mendapatkan keridloanNYA.
Mukjizat [dalam pengertian yang lazim digunakan] hanyalah
salah satu cara Tuhan mengajak komunikasi kepada manusia. Komunikasi dalam
bentuk pengajaran, atau pertolongan, atau pemberian kemampuan, atau yang
lainnya. Sedangkan wahyu [yang diturunkan kepada Nabi] juga bentuk komunikasi Tuhan
yang lainnya. Karenanya, tepatlah apabila wahyu disejajarkan sebagai mukjizat
juga, atau bahkan menganggap wahyu lebih tinggi dari mukjizat, karena
komunikasi Tuhan kepada manusia dalam wahyu itu berlangsung terus menerus.
Al Quran pada saat turun satu per satu ayatnya pun sebenarnya
adalah sesuatu yang adikodrati, hanya saja itu berlaku terbatas pada diri Nabi dan
kadang di sekelilingnya juga. Misalnya, tubuh Nabi tiba-tiba bertambah berat pada
saat menerima wahyu sehingga unta yang membawa Nabi sampai-sampai tak kuat
berdiri. Al Quran adalah cara Tuhan berkomunikasi dengan manusia, yang
dibukukan dan terus menerus hadir di kalangan manusia.
---
Mukjizat tidaklah berada dalam kaidah hukum benar-salah yang
biasa dikenal dan dipelajari oleh manusia (sebut saja hukum alam utama), tetapi
ia masih berada dalam ranah perintah dari Tuhan. Mukijzat tidak menyalahi hukum
alam utama, karena hukum alam utama itu tidaklah sesuatu yang absolut dan berdiri
sendiri. Hukum alam utama pun juga sedang menjalankan perintahNYA.
Dengan demikian, kebenaran sejati menjadi tergantung oleh
Kehendak Tuhan. Sesuatu dikatakan benar sejati ketika selaras dengan cara
materi dalam memenuhi kehendak Tuhannya. Dan tabiat materi adalah selalu tunduk
kepada kehendakNYA. Maka ketika Tuhan tidak merubah ketentuan yang terdahulu terhadap
alam, maka selamanya alam dengan segenap materinya akan selalu mengikuti ketentuan
terdahulu tanpa berselang satu detik pun. Konsistensi alam yang selalu tunduk
itu kemudian diamati oleh manusia dan ditemukanlah berbagai rumusan ilmu
pengetahuan. Dari pengamatan itulah berkembang menjadi cara-cara “memanipulasi”
sehingga bisa memberi manfaat bagi kehidupan manusia.
---
Tunduk kepada perintah Tuhan adalah kebaikan, sehingga materi
sejatinya selalu dalam kebaikan. Dan materi juga selalu dalam kebenaran, dengan
pengertian bahwa cara berperilakunya itu dijadikan acuan bagi manusia dalam
berinteraksi di alam itu.
Maka satu-satunya hukum Tuhan yang berlaku di alam ini
adalah hukum baik-buruk. Yang dinamakan kebaikan adalah menjalankan perintah
Tuhan, yang dinamakan keburukan adalah meninggalkan perintah Tuhan. Kebaikan
berakibat kebaikan, dan keburukan berakibat keburukan.
Sedangkan posisi hukum benar-salah adalah mengacu kepada
bagaimana cara materi dalam melaksanakan kebaikan. Ini mengandung pelajaran,
bahwa manusia hendaknya selalu memperjuangkan dirinya agar selalu dalam
kebaikan sekaligus kebenaran. Kebaikan untuk pertanggungjawaban kepada Tuhan,
kebenaran untuk mencapai interaksi yang harmonis dengan alam.
Demikianlah sebatas pemikiran personal yang terbatas.
[mungkin] bersambung.
Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment