Memang demikianlah. Kalaupun seseorang mengaku bertuhan, tuhan itu tak
lain adalah persepsinya sendiri. Persepsi itu bergerak-gerak. Bisa naik,
juga turun. Pemahaman yang semakin mendalam lazimnya akan membawa
persepsi yang beranjak naik. Sebaliknya pemahaman yang menyempit akan
menurunkan persepsi tentang Tuhan.
Persepsi seseorang yang sudah tinggi, tetap saja tak akan menjangkauNYA.
Maka dia akan mencoba lagi menaikkan persepsi itu, begitu seterusnya
manusia berjuang mendekati Tuhan. Perjuangan menaikkan persepsi itulah
yang punya makna bagi orang tersebut, bukan pencapaian kepada Tuhan.
Maka sekali lagi, betapapun manusia berusaha, tak akan dia mampu
menjangkau Tuhan. Akan tetapi hal itu tak berarti bahwa dia telah
melakukan sesuatu yang sia-sia. Ketidak mampuan manusia menjangkau Tuhan
itupun tidak berarti dia terputus dengan Penciptanya. Tidak sama
sekali.
Manusia di belantara keberadaan, laksana ikan yang berenang di dalam
aquarium. Ketika lapar, dia hanya dapat bergerak penuh pengharapan di
dalam aquarium itu. Ikan tak akan dapat menepukkan siripnya ke sang
pemilik. Tetapi pada saat itu, sang pemilik ikan tersenyum melihat polah
sang ikan dan ia pun memasukkan makanan bagi si ikan.
Tuhan lah yang akan menjangkau makhlukNYA. DIA kan tahu di antara
hambaNYA yang telah berusaha mendekatkan diri kepadaNYA, siapa yang
telah berhenti berusaha. Siapa di antara hambaNYA yang telah mengerahkan
daya dengan kesungguhan, siapa yang hanya berpura-pura, siapa yang acuh
tak acuh. DIA tahu siapa yang telah memelihara kesombongan dalam
hatinya, DIA tahu apapun yang terjadi.
Adapun tentang persepsi itu, tidaklah bermanfaat sama sekali bagi Tuhan.
Ia hanya akan menjadi kebaikan bagi manusia sebagai tangga-tangga
menuju kepadaNYA. Selain daripada itu, persepsi-persepsi yang baik akan
membawa hikmah perubahan hidup sehari-hari, paralel terhadap upayanya
mengolah berbagai potensi dirinya.
Persepsi tidak berbeda dengan bahasa. Bahasa adalah persepsi tentang
berbagai hal. Kata “meja” mewakili obyek meja, meskipun kata “meja” itu
tak mampu melukiskan secara tepat wujud meja yang sesungguhnya. Tetapi
meskipun tak tepat betul, kata-kata sangat memudahkan manusia. Seseorang
tidak perlu selalu memeluk meja untuk mengungkapkannya kepada orang
lain. Cukuplah dia mengatakan “meja”, maka orang yang diajak bicara akan
mengerti. Dengan bahasa lah manusia membangun berbagai pengetahuan.
Dengan bahasa manusia membangun peradaban.
Maka begitu pula persepsi tentang Tuhan yang Maha Suci. Persepsi
meskipun tak pernah menjangkau Tuhan, tetapi persepsi itu akan menjadi
alat bantu manusia dalam mewujudkan kemuliaan-kemuliaan dalam hidupnya.
Cita-cita luhur senantiasa akan tergantung untuk dicapai. Terus menerus
cita-cita itu meninggi, dan karenanya terus menerus pula ia akan
berusaha meningkatkan kualitas dirinya.
No comments:
Post a Comment