Sesuai dengan keberadaannya yang pasti, kesadaran menuntut kepastian.
Tetapi itu tak bisa dijawab oleh akal manusia. Karena akal manusia tak bisa memberikan produk atau hasil yang pasti. Berbagai kemajuan yang telah dicapai, berbagai teknologi yang telah ada, nyatanya tak juga memberikan jawaban yang memuaskan bagi kesadaran. Berbagai kemajuan itu ternyata hanyalah menambah gulungan spiral pertanyaan. Semakin besar dan semakin besar saja spiral itu. Tak ada jawaban yang menjadi penutup kurva spiral itu.
—
Siapakah aku? Kenapa aku ada? Bagaimana nanti? Kenapa ada ketidak adilan? Selamanya akal diserang rentetan pertanyaan paling mendasar. Padahal hidup harus berjalan dengan ketenangan, dalam mengarungi berbagai problema. Dan ketenangan itu hanya bisa dicapai manakala kesadaran mendapatkan jawaban yang pasti.
—
Seharusnya akal manusia tak perlu melontarkan kebohongan terhadap kesadaran dengan mengatakan:
“Pengetahuanku ini pasti! Hidup ini hanya sekali! Mati sekali untuk selamanya!”
“Akhirat itu tak ada! Tuhan itu pasti tak ada! Jadi ayo lanjutkan hidup bebas tanpa Tuhan!”
Sedangkan pada kesadaran itu tak pernah sekalipun disajikan bukti atas kematian yang selamanya, karena jelas-jelas manusia tak sedang berada di ujung waktu. Nenek moyang memang tak ada yang bangkit lagi, tetapi kesimpulan itu hanya berlaku pada saat-saat sekarang saja. Nyatanya waktu mungkin akan terus bergulir hingga milyaran tahun lagi, apapun bisa terjadi dalam jangka waktu selama itu.
Karenanya, kesadaran akan menjawab balik:
“Manusia telah berbohong! Boleh jadi hidup ini lebih dari sekali! Dan jikalau benar hidup lebih dari sekali, bagaimana dengan hidup selanjutnya?”
Pertanyaan itu, dan pertanyaan yang lain terus menggema dalam perjalanan hidupnya.
—
Maka bagaimanakah untuk mengatasi kesadaran itu..?
Kejujuran!
Kejujuranlah jalan yang mendamaikan antara manusia dengan kesadarannya. Kejujuranlah yang mempertemukan manusia dengan kesadarannya. Kejujuran mungkin tak menyelesaikan persoalan di luar, tapi setidaknya dalam diri telah ada sikap menghargai. Seakan manusia berkata dengan kesadarannya:
“Ya, saya akui, saya memang tak mampu memenuhi permintaanmu.”
Nah!
Tak dinyana! Itulah jawaban terhadap spiral pertanyaan yang selama ini dilontarkan dalam kesadaran! Itulah penutup kurva yang selama ini dicari-cari! Memanglah manusia itu lemah. Itulah kepastian yang dibutuhkan oleh kesadaran!
—
Lantas? Bagaimana dengan persoalan di luar? Adakah solusinya?
Tak ada jawaban! Hanyalah kepasrahan!
Pasrah sebagai konsekuensi dari kejujuran. Pasrah dengan kelemahan dan keterbatasan! Pasrah dengan apapun yang terjadi nanti! Karena memang tak ada yang bisa dipastikan tentang keadaan di masa depan. Alam dan lingkungan benar-benar tak bisa diperkirakan. Apakah besok mati, apakah besok akan kehilangan sesuatu, apakah besok akan bahagia? Sengsara? Sukses?
Pasrah!
Pasrah dari segala akibat. Pasrah dengan potensi diri. Pasrah dengan usaha yang tak tahu hasilnya. Pasrah menanggung kenyataan. Pasrah menanggung penderitaan.
—
Tetapi cobalah kita lihat! Hukum kehidupan seakan berbalik akibat dari kepasrahan.
Banyak sekali kepasrahan yang justru menolong.
Milyaran bayi yang di dunia ini hanya bisa menangis dan berpasrah, ternyata banyak yang terus hidup tanpa disadarinya.
Begitu juga dalam dunia satwa. Kepasrahan menghadapi ganasnya pemangsa seringkali justru menyelamatkan.
—
Kepasrahan adalah titik tolak yang luar biasa. Banyak manusia mencapai keberhasilan setelah pasrah dengan keterpurukan. Kepasrahan untuk tak meratapi keadaan. Menjadi energi yang luar biasa untuk bangkit .
Bagaimana pula apabila kepasrahan tak juga menolong?
Tetap berpasrah!
Nyatanya memang hanya itu yang bisa dilakukan. Bersiap dengan segala keadaan. Dan lihatlah sekali lagi! Kepasrahan itu nantinya akan mengurangi rasa sengsara.
—
Para Nabi adalah teladan yang sempurna tentang kepasrahan manusia. Maka dari itulah Tuhan memberikannya titik balik yang dahsyat bagi kehidupan! Cahaya kehidupan yang terang benderang!
Segala rahasia hidup terbuka lebar, memberikan kebahagiaan tiada tara bagi kesadaran! Terjadilah resonansi antara kesadaran dengan kehidupan! Sungguh dahsyat!
Ritual, dogma, pengorbanan, kesemuanya mencerminkan kepasrahan manusia secara nyata!
—
Kejujuran tentang ketidaktahuan manusia kini termanifestasikan secara lugas dengan ritual, dogma dan pengorbanan itu. Kejujuran kini tidak sekedar kalimat penghibur. Kepasrahan tidak sekedar gambar penyejuk mata.
Kejujuran dan kepasrahan menjadi nyata! Ya, nyata ketika diri yang merasa bodoh itu tetap menjalankan hal-hal yang tak sepenuhnya dimengerti, atas dasar kepercayaan kepada para Nabi yang sempurna dalam kepasrahannya. Atas nama Tuhan yang Maha Mengetahui segala misteri.
Dan lihatlah.. rasakanlah.. betapa ritual, dogma, dan pengorbanan itu memberikan titik balik yang hebat. Keberanian, kemantapan, kesungguhan, ketangguhan, kesabaran berakar dan bertumbuh kuat dalam diri. Memberi energi hidup tanpa henti. Keselamatan kebahagiaan yang mengatasi keadaan, melampaui kematian.
Itulah, Kejujuran dan Kepasrahan!
Dan di akhirat nanti, boleh jadi kesempurnaan dan keberuntungan kan terwujud atas restu Sang Pengajar, Pemilik Kehidupan dan Kesadaran.
—
Kini, siapakah aku? Siapakah kita?
Beranikah berdamai dengan kesadaran ?
Entahlah :(
—
Wallahu a’lam
Tetapi itu tak bisa dijawab oleh akal manusia. Karena akal manusia tak bisa memberikan produk atau hasil yang pasti. Berbagai kemajuan yang telah dicapai, berbagai teknologi yang telah ada, nyatanya tak juga memberikan jawaban yang memuaskan bagi kesadaran. Berbagai kemajuan itu ternyata hanyalah menambah gulungan spiral pertanyaan. Semakin besar dan semakin besar saja spiral itu. Tak ada jawaban yang menjadi penutup kurva spiral itu.
—
Siapakah aku? Kenapa aku ada? Bagaimana nanti? Kenapa ada ketidak adilan? Selamanya akal diserang rentetan pertanyaan paling mendasar. Padahal hidup harus berjalan dengan ketenangan, dalam mengarungi berbagai problema. Dan ketenangan itu hanya bisa dicapai manakala kesadaran mendapatkan jawaban yang pasti.
—
Seharusnya akal manusia tak perlu melontarkan kebohongan terhadap kesadaran dengan mengatakan:
“Pengetahuanku ini pasti! Hidup ini hanya sekali! Mati sekali untuk selamanya!”
“Akhirat itu tak ada! Tuhan itu pasti tak ada! Jadi ayo lanjutkan hidup bebas tanpa Tuhan!”
Sedangkan pada kesadaran itu tak pernah sekalipun disajikan bukti atas kematian yang selamanya, karena jelas-jelas manusia tak sedang berada di ujung waktu. Nenek moyang memang tak ada yang bangkit lagi, tetapi kesimpulan itu hanya berlaku pada saat-saat sekarang saja. Nyatanya waktu mungkin akan terus bergulir hingga milyaran tahun lagi, apapun bisa terjadi dalam jangka waktu selama itu.
Karenanya, kesadaran akan menjawab balik:
“Manusia telah berbohong! Boleh jadi hidup ini lebih dari sekali! Dan jikalau benar hidup lebih dari sekali, bagaimana dengan hidup selanjutnya?”
Pertanyaan itu, dan pertanyaan yang lain terus menggema dalam perjalanan hidupnya.
—
Maka bagaimanakah untuk mengatasi kesadaran itu..?
Kejujuran!
Kejujuranlah jalan yang mendamaikan antara manusia dengan kesadarannya. Kejujuranlah yang mempertemukan manusia dengan kesadarannya. Kejujuran mungkin tak menyelesaikan persoalan di luar, tapi setidaknya dalam diri telah ada sikap menghargai. Seakan manusia berkata dengan kesadarannya:
“Ya, saya akui, saya memang tak mampu memenuhi permintaanmu.”
Nah!
Tak dinyana! Itulah jawaban terhadap spiral pertanyaan yang selama ini dilontarkan dalam kesadaran! Itulah penutup kurva yang selama ini dicari-cari! Memanglah manusia itu lemah. Itulah kepastian yang dibutuhkan oleh kesadaran!
—
Lantas? Bagaimana dengan persoalan di luar? Adakah solusinya?
Tak ada jawaban! Hanyalah kepasrahan!
Pasrah sebagai konsekuensi dari kejujuran. Pasrah dengan kelemahan dan keterbatasan! Pasrah dengan apapun yang terjadi nanti! Karena memang tak ada yang bisa dipastikan tentang keadaan di masa depan. Alam dan lingkungan benar-benar tak bisa diperkirakan. Apakah besok mati, apakah besok akan kehilangan sesuatu, apakah besok akan bahagia? Sengsara? Sukses?
Pasrah!
Pasrah dari segala akibat. Pasrah dengan potensi diri. Pasrah dengan usaha yang tak tahu hasilnya. Pasrah menanggung kenyataan. Pasrah menanggung penderitaan.
—
Tetapi cobalah kita lihat! Hukum kehidupan seakan berbalik akibat dari kepasrahan.
Banyak sekali kepasrahan yang justru menolong.
Milyaran bayi yang di dunia ini hanya bisa menangis dan berpasrah, ternyata banyak yang terus hidup tanpa disadarinya.
Begitu juga dalam dunia satwa. Kepasrahan menghadapi ganasnya pemangsa seringkali justru menyelamatkan.
—
Kepasrahan adalah titik tolak yang luar biasa. Banyak manusia mencapai keberhasilan setelah pasrah dengan keterpurukan. Kepasrahan untuk tak meratapi keadaan. Menjadi energi yang luar biasa untuk bangkit .
Bagaimana pula apabila kepasrahan tak juga menolong?
Tetap berpasrah!
Nyatanya memang hanya itu yang bisa dilakukan. Bersiap dengan segala keadaan. Dan lihatlah sekali lagi! Kepasrahan itu nantinya akan mengurangi rasa sengsara.
—
Para Nabi adalah teladan yang sempurna tentang kepasrahan manusia. Maka dari itulah Tuhan memberikannya titik balik yang dahsyat bagi kehidupan! Cahaya kehidupan yang terang benderang!
Segala rahasia hidup terbuka lebar, memberikan kebahagiaan tiada tara bagi kesadaran! Terjadilah resonansi antara kesadaran dengan kehidupan! Sungguh dahsyat!
Ritual, dogma, pengorbanan, kesemuanya mencerminkan kepasrahan manusia secara nyata!
—
Kejujuran tentang ketidaktahuan manusia kini termanifestasikan secara lugas dengan ritual, dogma dan pengorbanan itu. Kejujuran kini tidak sekedar kalimat penghibur. Kepasrahan tidak sekedar gambar penyejuk mata.
Kejujuran dan kepasrahan menjadi nyata! Ya, nyata ketika diri yang merasa bodoh itu tetap menjalankan hal-hal yang tak sepenuhnya dimengerti, atas dasar kepercayaan kepada para Nabi yang sempurna dalam kepasrahannya. Atas nama Tuhan yang Maha Mengetahui segala misteri.
Dan lihatlah.. rasakanlah.. betapa ritual, dogma, dan pengorbanan itu memberikan titik balik yang hebat. Keberanian, kemantapan, kesungguhan, ketangguhan, kesabaran berakar dan bertumbuh kuat dalam diri. Memberi energi hidup tanpa henti. Keselamatan kebahagiaan yang mengatasi keadaan, melampaui kematian.
Itulah, Kejujuran dan Kepasrahan!
Dan di akhirat nanti, boleh jadi kesempurnaan dan keberuntungan kan terwujud atas restu Sang Pengajar, Pemilik Kehidupan dan Kesadaran.
—
Kini, siapakah aku? Siapakah kita?
Beranikah berdamai dengan kesadaran ?
Entahlah :(
—
Wallahu a’lam
No comments:
Post a Comment