Semua yang terjadi adalah takdirNYA. Termasuk hujatan-hujatan kepadaNYA, adalah juga takdirNYA.
Hujatan-hujatan yang dilontarkan tanpa emosi karena
hendak memprovokasi, ataupun hujatan yang memang disampaikan dengan
emosi, adalah takdirNYA.
TakdirNYA memang demikian, ada yang baik, ada yang buruk.
Ada peperangan yang dilatarbelakangi saling emosi pada keduanya,
Ada peperangan yang dilatarbelakangi persepsi suci pada keduanya,
Ada peperangan yang dilatarbelakangi kombinasi pada keduanya,
Semua adalah takdirNYA.
—
Dan manusia adalah agen takdirNYA.
Takdir baik, takdir buruk.
Namun manusia diberikan penglihatan, pendengaran,
dan hati, seharusnya membuatnya tahu mana yang baik dan mana yang buruk.
Mana takdir neraka, mana takdir surga.
Sehingga manusia adalah agen bebas, untuk memilih tempat takdirnya sendiri.
Kalau dia mau, mampu lah manusia berganti takdir. Dari takdir baik ke takdir buruk. Dari takdir buruk ke takdir baik.
Tapi memang, untuk berganti takdir dari yang buruk
ke yang baik itu harus menangkap energi. Energi perasaan. Sehingga
mungkin terasa tak masuk akal untuk berpindah dari takdir buruk ke
takdir baik. Mungkin berat, luar biasa berat.
Atau bahkan diri merasa telah berada di takdir
baik, padahal sebenarnya di takdir buruk? Maka hanya dirinya sendiri dan
Tuhan lah yang tahu.
—
Bagi yang percaya dengan takdirNYA, melihat
berbagai kejadian seharusnya tidak membuat diri terheran-heran. Bahkan
benci atau senang pun, seharusnya tidak, atau setidaknya sedikit atau
sebentar saja.
Karena yang sudah terjadi adalah takdirNYA.
Apakah dengan terjadinya takdir buruk di sekitar lantas menyalahkan Tuhan? Tidak, mana berani menyalahkanNYA.
Apakah dengan terjadinya takdir buruk di sekitar
lantas heran? Tidak, karena apa yang diperbuatNYA memang bisa dahsyat.
Tak ada yang perlu diherankan.
—
Tetapi bagaimana terhadap manusia sekitar
yang telah menjalankan takdir buruk? Manusia harus hormati dia, karena
dia seperti itu atas kehendakNYA. Bagaimana mungkin manusia bisa
melecehkannya, itu sama saja melecehkan kehendakNYA? Apa mau berurusan
dengan Tuhan soal pelecehan itu? Tentu tidak, tidak berani.
Namun, kepada pelaku takdir buruk yang melanggar
hak manusia lain, sudah sepatutnya bagi manusia yang percaya Tuhan untuk
bersikap, yaitu berusaha mengembalikan hak manusia lain yang telah
direbut. Itupun apabila manusia yang telah dilanggar haknya tidak
memaafkan. Itupun harus dengan prosedur yang telah ditetapkanNYA, di
antaranya adalah dengan strategi (akal).
Pengambilan sikap yang demikian, bukanlah menentang
telah terjadinya takdir buruk, tetapi usaha diri agar selanjutnya
menetapi takdir baik sesuai yang telah digariskanNYA. Dan, Tuhan tidak
silau dengan usaha-usaha manusia yang bermotifkan kebaikan. Bercampurnya
tindakan-tindakan buruk di antara yang baik, akan diperhitungkanNYA
dengan teliti. Dan pada akhirnya, itupun adalah takdirNYA, bahwa seorang
manusia setiap saat boleh jadi sedang menjalankan takdir buruk dan
takdir baik sekaligus.
—
TakdirNYA, baik dan buruk.
Manusia adalah agen takdir itu. Tetapi setiap
manusia sudah ada yang mengurusnya, yaitu Tuhannya. Tak layak bagi
manusia untuk membenci ciptaanNYA. Dan boleh jadi Tuhan memiliki rencana
yang lebih baik untuk dia dibanding ke diri sendiri. Manusia bisa apa?
Mengurus diri sendiri tak akan mampu. Semua urusan adalah milikNYA.
Yang bisa dilakukan manusia atas manusia lain,
hanyalah sebatas membenci tindakan buruk, bukan pelakunya. Karena yang
tahu tentang manusia lain, adalah dia dan Tuhannya. Manusia tak akan
bisa tahu, tanpa diberitahuNYA.
Ya, manusia memang bisa menduga. Tetapi dugaan itu
hanyalah layak untuk diri sendiri, tak pantas untuk dijadikan alat
perampasan hak atas orang lain tanpa dasar.
—
TakdirNYA …..
Wallahu a’lam
No comments:
Post a Comment